Selasa, 16 Juli 2013

Sejarah Singkat Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia



Awal mula umat muslim Indonesia melaksanakan Haji belum diketahui pasti waktunya, namun diperkirakan sudah sejak awal mula Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 12, yang dilaksanakan secara perorangan dan kelompok dalam jumlah yang kecil serta belum dilaksanakan secara massal.

Sejak berdirinya kerajaan Islam di Indonesia perjalanan haji mulai dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya dan semakin meningkat jumlahnya setelah berdirinya kerjaan Pasai di Aceh pada tahun 1292.

Sejarah dan pengaturan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia mulai dilakukan sejak jaman penjajahan hingga saat ini, dan merupakan perjalanan yang panjang, yang tidak mungkin kita bahas dalam satu artikel. sehingga untuk mempermudah dalam penjelasannya, kita Klasifikasikan sejarah penyelenggaraan Ibadah Haji plus ke dalam beberapa Periode. pertama, Periode Masa penjajahan Belanda, kedua Periode Haji setelah kemerdekaan, ketiga, periode 1966 s/d 1998, keempat, periode haji 1999 s/d sekarang.

Pada ulasan kali ini, kita akan mengupas periode penyelenggaraan Ibadah haji pada periode Penjajahan Belanda. Bagaimana penyelenggaraan haji pada saat itu? Apakah sudah sangat modern seperti sekarang ini? mari kita simak ulasan berikut ini!


Penyelenggaraan Haji pada Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda, penyelenggaraan ibadah haji dilakukan untuk menarik hati rakyat sehingga mengesankan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak menghalangi umat Islam melaksanakan ibadah haji meskipun dengan keterbatasan fasilitas yang sebenarnya kurang bermartabat, dimana pengangkutan haji dilakukan dengan kapal KONGSI TIGA yaitu kapal dagang yang biasa digunakan untuk mengangkut barang dagangan, demikian juga tempat istirahat jamaah haji di kapal sama dengan apabila kapal tersebut mengangkut ternak. Faktor yang dominan dalam masalah perjalanan haji pada masa penjajahan ini, yaitu keamanan di perjalanan dan fasilitas angkutan jamaah haji masih sangat minim. Namun demikian hal tersebut tidak mengurangi animo dan keinginan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji, bahkan jumlahnya mulai meningkat secara cepat, yang diperkirakan mulai sejak tahun 1910.


Pada tahun 1921 umat Islam mulai bergerak melakukan upaya perbaikan ibadah haji yang dipelopori KH Ahmad Dahlan, dengan menuntut KONGSI TIGA melakukan perbaikan pelayanan pengangkutan ibadah haji Indonesia. Pada tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan pada Pelgrims Ordannantie, sedangkan Hoofdbestuur Muhammadiyah mengutus anggotanya, KHM Sudjak dan M Wirjopertomo ke Makkah untuk meninjau dan mempelajari masalah yang menyangkut perjalanan haji. Hasil dari upaya-upaya tersebut ditetapkan dalam Ordanansi Haji 1922 Pemerintah Hindia Belanda. Ordonansi tersebut diantaranya mengatur mengenai angkutan jamaah haji, keamanan dan fasilitas angkutan selama dalam perjalanan.


Karena kedua permasalahan, yaitu keamanan dan fasilitas angkutan pada dasarnya telah teratasi, maka dengan sendirinya jumlah jamaah haji Indonesia pada saat itu terus melonjak. Pada tahun 1928, Muhammadiyah mengaktifkan penerangan tentang cita-cita perbaikan perjalanan haji. Sedangkan Nahdatul Ulama melakukan pendekatan dengan Pemerintah Saudi Arabia dengan mengirimkan utusan, KH Abdul Wahab Abdullah dan Syech Ahmad Chainaim Al Amir, menghadap Raja Saudi Arabia (Ibnu Saud) guna menyampaikan keinginan untuk memberikan kemudahan dan kepastian tarif haji (yang ketika itu banyak diselenggarakan oleh syech-syech) melalui penetapan tarif oleh Baginda Raja.


Pada tahun 1930 Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau mencetuskan pemikiran untuk membangun pelayaran sendiri bagi jamaah haji Indonesia. Pada tahun 1932, berkat perjuangan anggota Volskraad, Wiwoho dan kawan-kawan, Pelgrims Ordanantie 1922 dengan Staatblaad 1932 Nomor 544 mendapat perubahan pada artikel 22 dengan tambahan artikel 22a yang memberikan dasar hukum atas pemberian ijin bagi organisasi bonafide bangsa Indonesia (umat Islam Indonesia) untuk mengadakan pelayaran haji dan perdagangan.


Dalam perkembangan Sejarah Haji Indonesia pada masa Setelah Kemerdekaan, untuk lebih memberikan kekuatan legalitas penyelenggaraan haji, pada tanggal 21 Januari 1950 Badan Kongres Muslim Indonesia (BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang secara khusus menangani kegiatan penyelenggaraan haji, yaitu Panitia Perbaikan Perjalanan Haji indonesia (PPHI) yang diketuai oleh KHM Sudjak.

Sebelumnya Pemerintah Indonesia pada tahun 1948 mengirimkan misi haji ke Makkah yang beranggotakan: KRH Moh. Adnan, H Ismail Banda, H Saleh Suady, H Samsir Sultan Ameh, untuk menghadap Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud dan pada tahun itu juga bendera Merah-Putih pertama kali dikibarkan di Arafah. Pada tahun 1949 jumlah jamaah haji yang diberangkatkan mencapai 9.892 orang dan pada tahun 1950 mencapai angka 10.000 orang ditambah 1.843 orang yang berangkat secara mandiri. Penyelenggaraan ibadah haji pada masa ini dilakukan oleh Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) yang berada di setiap Karesidenan.
Selanjutnya pada tahun 1952 dibentuk perusahaan pelayaran PT Pelayaran Muslim yang disetujui oleh Menteri Agama sebagai satu-satunya perusahaan yang menjadi panitia penyelenggaraan haji, karena pada saat itu belum ada biro travel haji seperti sekarang ini. Pada tahun ini Menteri Agama memberlakukan process quotum/sistem kuota regional sampai sekarang ini disebabkan besarnya jumlah masyarakat yang berminat untuk menunaikan ibadah haji, sementara fasilitas yang tersedia sangat terbatas. yang dimaksud dengan sistem kuota yaitu jumlah jatah yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat ke daerah berdasarkan minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji dari masing-masing daerah dengan pertimbangan skala prioritas. Meski ketika itu kecenderungan terus meningkatnya biaya haji terjadi, namun tetap saja jumlah masyarakat yang melakukan ibadah haji tetap juga meningkat.

Kedudukan PPHI lebih dikuatkan lagi dengan dikeluarkannya surat dari Kementerian Agama, ditandatangani oleh Menteri Agama RIS KH Wahid Hasyim, Nomor 3170 tanggal 6 Pebruari 1950, kemudian disusul dengan surat edaran Menteri Agama RI di Yogyakarta Nomor A.III/I/648 tanggal 9 Pebruari 1950 yang menunjuk PPHI sebagai satu-satunya wadah yang sah, disamping Pemerintah, untuk mengurus dan menyelenggarakan perjalanan haji Indonesia. Sejak saat inilah dengan berdasarkan legalitas yang kuat, masalah haji ditangani oleh Pemerintah melalui Kementerian Agama.
Sebagai informasi, pada tahun 1949 biaya haji sebesar Rp 3.395,14. pada tahun 1950 dan 1951 meningkat dua kali lipat menjadi sebesar Rp6.487,25.


Selanjutnya pada tahun 1962, dibentuklah sebuah Panitia yang mandiri yaitu Panitia Pemberangkatan dan Pemulangan Haji (PPPH). Panitia ini diberikan kewenangan penuh dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul dan pengambilan keputusan dilakukan oleh ketua Panitia atas persetujuan Menteri Agama, tanpa melibatkan departeman secara langsung. Pada tahun 1962, biaya haji sebesar Rp. 60.000 dan pada tahun 1963 biaya haji naik signifikan hampir 3,5 kali lipat menjadi Rp 200.000.


 Tidak lebih dari 2 tahun, pada tahun 1964 Pemerintah mengambil alih kewenangan PPPH dengan membubarkannya, selanjutnya kewenangan tersebut diserahkan kembali kepada DirjenUrusan Haji (DUHA). Pada tahun 1964 biaya haji tidak lagi disubsidi Pemerintah sehingga biayanya meningkat dua kali lipat dimana biaya dengan kapal laut ditetapkan sebesar Rp 400.000 sedangkan dengan pesawat udara ditentukan sebesar Rp 1.400.000. Di tahun 1964 juga dibentuklah PT Arafat untuk mengatasi permasalahan angkutan laut yang sebelumnya dilakukan oleh PT Muslim Indonesia, sebagaimana disuratkan dalam Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 1964.


Akibat situasi kenegaraan yang tidak menentu, paska peristiwa G-30S-PKI, berpengaruh terhadap kondisi ekonomi, mengakibatkan nilai rupiah terhadap mata uang asing mengalami penurunan yang sangat tajam, sehingga dengan Keputusan Menteri Urusan Haji Nomor 132/1965 penentuan biaya perjalanan haji menggunakan kapal laut ditentukan sebesar Rp 2.260.000. jumlah biaya haji yang mengalami kenaikan sangat drastis ini tidak menurunkan minat calon haji terhadap Program Biro Perjalanan Haji Umroh Plus, dimana jumlah jamaah haji pada tahun bersangkutan mencapai 15.000 orang.

Demikianlah Proses penyelenggaraan haji pada periode setelah kemerdekaan. yang awalnya haji diatur oleh panitia  PHI (penyelenggara haji indonesia) yang berada pada setiap kerasidenan. kemudian berkembang sistem kuota regional karena makin banyak peminatnya sampai sekarang ini. semoga bermanfaat.

Sumber : Haji.Kemenag.go.id

Penyelenggaraan Haji Periode 1966 s/d 1998

Bagaimana Penyelenggaraan Haji pada masa itu? Kita simak ulasan dibawah ini.

Pada saat itu terjadi perubahan struktur dan tata organisasi Menteri Urusan Haji dan mengalihkan tugas penyelenggaraan haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, Departemen Agama, termasuk mengenai penetapan besaran biaya, sistem menejerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 Tahun 1966.

Penetapan biaya perjalanan ibadah haji saat itu ditetapkan dalam tiga kategori, yaitu haji dengan kapal laut, haji berdikari dan haji dengan pesawat udara. Dengan diberlakukannya kembali calon jamaah haji berdikari, maka sejak tahun 1967 penyelenggaraan ibadah haji dikembalikan kepada Menteri Agama melalui Keputusan Presiden nomor 92 Tahun 1967 yang memberikan wewenang kepada Menteri Agama untuk menentukan besarnya biaya haji.


Besaran biaya haji pada tahun 1968 kembali ditetapkan oleh Dirjen Urusan Haji dengan Keputusan Nomor 111 Tahun 1968. Pada tahun 1968 ini, calon jamaah haji mulai merasakan bahwa pelayanan perjalanan haji yang dilakukan oleh swasta biayanya lebih mahal dibandingkan dengan penyelenggaraan haji oleh Pemerintah. Di samping itu banyak calon jamaah haji yang keberangkatannya diurus oleh Program Biro Perjalanan Haji Umroh Plus serta biro-biro perjalanan haji swasta ketika itu, mengalami gagal berangkat menunaikan ibadah haji dikarenakan keterbatasan alat transportasi laut.


Bercermin pada pengalaman buruk yang dialami oleh masyarakat calon jamaah haji, maka pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 menetapkan kebijaksanaan bahwa seluruh pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji diproses dan diurus oleh Pemerintah,dan mengharapkan calon jamaah haji agar dalam menjalankan ibadah haji melalui prosedur resmi sesuai ketetapan pemerintah.


Pemerintah ikut serta bertanggungjawab secara penuh dalam penyelenggaraan haji, baik dari penentuan biayanya sampai kepada pelaksanaan serta hubungan antar dua negara mulai dilaksanakan pada tahun 1970. Pada tahun 1971 sampai dengan tahun 1973 penyelenggaraan ibadah haji tidak banyak mengalami perubahan-perubahan kebijakan. Sebuah peristiwa tragis terjadi pada tahun 1974, yaitu ketika pesawat udara Martin Air yang mengangkut jamaah haji Indonesia mengalami kecelakaan di Colombo, yang menelan korban sebanyak 1.126 orang.


Pada tahun 1976 mulai dihapuskannya keberangkatan penyelenggaraan Haji dengan menggunakan kapal laut. Hal ini dikarenakan banyaknya permasalahan perjalanan haji dengan kapal laut yang tidak dapat diselesaikan, termasuk pailitnya PT.Arafat. Mulai tahun 1979 Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK-72/OT.001/Phb-79 memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jamaah haji dengan kapal laut dan menetapkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan dengan menggunakan pesawat udara.

 Pada awal penghapusan jamaah haji dengan kapal laut tersebut, kejadian tragis kembali terjadi, dimana pesawat udara yang mengangkut jamaah haji Indonesia mengalami kecelakaan kali kedua di Colombo yang disebabkan karena kesalahan navigasi pesawat Loft Leider. Jamaah haji yang meninggal ketika itu adalah sebanyak 960 orang.


Penyelenggaraan haji swasta Pada tahun 1981 dihentikan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1981 yang mengatur bahwa penyelenggaraan ibadah haji hanya oleh Pemerintah. Namun keputusan itu hanya berlaku 4 tahunan, karena sekitar tahun 1985,Pemerintah kembali mengikutsertakan  biro-biro perjalanan haji swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umroh.

Mulai tahun 1991 pemerintah menyempurnakan peraturan tentang penyelenggaraan haji dengan peraturan nomor 245 tahun 1991, yang menuangkan penekanan pada pemberian sanksi yang jelas kepada swasta yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana ketentuan yang berlaku.


Pernyelenggaraan haji sangat diwarnai Sentralisasi kebijakan dan monopoli pada fase ini, dimana menejemen penyelenggaraan haji yang diadopsi berbasis sistem birokrasi tradisional sebagaimana dilakukan pada masa kolonial Belanda.

Penyelenggaraan Haji Periode 1999 - sekarang

Sorotan masyarakat terhadap penyelenggaraan ibadah haji adalah mengenai inefisiensi dan biaya tinggi dalam segenap proses haji. Dalam Proses itu semua mewarnai perubahan kebijakan pada tahapan masa/fase ini. Pemerintah menghapus monopoli angkutan haji Melalui Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1998 dengan mengijinkan kepada perusahaan penerbangan asing, Saudi Arabian Airlines, untuk melaksanakan angkutan haji. Akibat kebijakan tersebut, biaya angkutan penerbangan dapat ditekan dari US$ 1.750,- menjadi US$1.200,-. Penurunan tarif ini juga sebagai imbas dari penghapusan pengenaan royalti per jamaah haji kepada Pemerintah Arab Saudi yang besarnya US$100,- per penumpang (sebagai kompensasi atas diikutsertakannya Saudi Arabian Airlines dalam pengangkutan jamaah haji Indonesia).


Setelah 54 tahun penyelenggaraan ibadah haji, baru pada tahun 1999 pertama kali diterbitkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pijakan yang kuat dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Sejak keluarnya UU No. 17 tersebut, penyelenggaraan haji Indonesia bersandar pada ketentuan perundang-undangan ini.


Sedangkan pelaksanaan haji di Arab Saudi disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di negara tersebut sebagaimana tercantum dalam ‘Taklimatul Hajj’ yang mengatur berbagai aspek pelaksanaan haji, seperti pemondokan, transportasi, dan ketentuan teknis pelaksanaan ibadah seperti jadwal waktu pelemparan jumrah dan transportasi jamaah haji untuk Arafah-Muzdalifah-Mina dengan system taraddudi.

Saat ini sudah banyak sekali perbaikan dan renovasi Gedung di sekitar Mekkah dan Ka'bah. seperti tempat melempar jumrah yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian, pasar seng, pembangunan hotel-hotel yang menjulang tinggi, dan masih banyak lagi perbaikan dan renovasi sekitar Makkah dan Ka'bah.

demikian sekilas Penyelenggaraan Haji Periode 1999 - sekarang yang dapat TravelHajiUmroh sampaikan. Semoga bisa menjadi kaca perbandingan dan pelajaran mengenai penyelenggaraan Ibadah haji ini. jazakumullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar