Kamis, 02 Januari 2014

Tauhid wal jihad

Dibawah ini ada beberapa tulisan tentang JIHAD dalam ISLAM, jelas bahwa Indonesia baik pengakuan Penyelenggara Negara maupun berdasarkan kenyataan bukanlah negara Islam walaupun berpenduduk mayoritas muslim dan secara  de facto kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahannya selalu muslim. 
Kenyataannya hukum Islam hanya diterapkan sebagian saja terutama yang berkaitan dengan hukum perdata seperti waris, perkawinan,  peradilan agama dan lain-lain itupun dalam kasus atau perkara yang terbatas.

Berkaitan dengan cara Berjihad dalam menegakkan Kalimat Tauhid ada dua kutub yang tampak saling  bertentangan. Tulisan yang ditampilkan disini untuk membantu kita mengkaji dalil masing-masing agar kita merasa yakin yang manakah yang menjadi kecenderungan kita sambil tak lupa mohon petunjuk Allah agar kita tidak berlaku zhalim terhadap siapapun dan tidak juga termasuk kalangan umat yang masabodoh dengan hukum-hukum Allah

Menjawab Syubhat ''Salafi'': Jihad Harus Dengan Izin Amirul Mukminin
Oleh: Badrul Tamam

Usaha Deradikalisasi tidak akan memberi hasil maksimal jika pemerintah tetap memelihara kebohongan, kemunafikan dan kepedulian semu seperti selama ini.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Diberitakan Muslimdaily.com, pada kamis sore, 01 desember 2011, Nasir Abbas dan Abdurrahman al-Ayyubi dan seorang lagi yang tak dikenal namanya, datang menemui Ustadz Abu Bakar Ba'asyir di Bareskrim, Mabes Polri. Kedatangan mereka bukan untuk menjenguk Ust. Abu yang diberitakan terganggu mata kanan beliau karena penyakit katarak, tapi untuk melakukan deradikalisasi terhadap Ustadz sepuh ini. Caranya dengan gaya lama, bahwa negara ini adalah negara Islam yang sah menurut syariat, sehingga harus diakui dan harus dibela sampai titik darah penghabisan. Tak perlu melakukan perjuangan Tathbiq Syariah Islam (implementasi syariat Islam secara formal) di negeri ini, karena sudah sesuai dengan Islam. Sementara pemimpinnya adalah amirul mukminin, yang wajib didengar dan ditaati perintahnya walau –seandainya- secara pribadi adalah banyak maksiat.

“Indonesia ini adalah negara Islam ustad, karena mayoritas penduduknya adalah orang Islam dan jihad itu diperbolehkan kalau amirnya memerintahkan untuk berjihad (maksudnya amir: SBY),” tegas Abdurrahman Al-Ayyubi kepada Ustad Abu Bakar Ba'asyir.
Nasir Abbas dan Abdurrahaman al-Ayyubi pasti sudah mengenal baik Ust. Abu Bakar Ba'asyir. Keduanya pernah berjumpa dan berinteraksi dengan beliau cukup lama. Keduanya pernah terjun di medan jihad, hanya saja sekarang keduanya sudah "murtad" darinya. Boleh jadi kemurtadan keduanya dari jihad karena syubuhat ini, Indonesia adalah Negara Islam dan pemimpinnya adalah amirul mukminin, serta jihad yang sah menurut syar'i adalah yang dikomando olehnya. Jika jihad diamalkan tanpa ada izin amirul mukmin yang sah, maka menurut mereka, jihadnya tidak sah atau batil.
Bagi siapa yang melek berita, pasti akan merasa aneh jika Indonesia disebut negara Islam. Para anggota DPR pasti akan berang jika negara ini adalah disebut negara Islam. Pastinya Amerika dan negara-negara kafir lainnya juga tak akan tinggal diam jika sudah tegak Negara Islam. Buktinya, jika di beberapa daerah tumbuh kesadaran untuk menerapkan beberapa aturan yang mengadopsi hukum Islam, maka muncul protes dari beberapa anggota dewan dengan mengatakan, "Indonesia ini bukan negara Islam."
Presiden Indonesia Susilo Bangbang Yudhoyono (SBY) juga pernah menyatakan, bahwa Indonesia bukan negara Islam. Dia juga tidak pernah menyatakan diri sebagai amirul mukminin, tapi seorang pluralis sejati. Bagi seorang pluralis tidak boleh menyatakan Islam adalah agama satu-satunya. Dia wajib membenarkan Islam, tapi juga wajib membenarkan agama lainnya. Sementara Islam mengajarkan, Islam saja agama yang benar agama dan selainnya adalah batil. Siapa yang memeluk agama selain Islam, maka amal baiknya tidak diterima oleh Allah dan jika mati di atasnya pasti ia masuk neraka.
Jadi aneh sekali, pemimpin negara ini bilang Indonesia bukan negara Islam, tapi segelintir kelompok kecil yang tergabung dalam kelompok "Salafi" memastikan ini adalah negara Islam. Ini seperti pepatah Arab, “Semuanya mengaku sebagai kekasih Laila. Namun Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya.”


Al-'Allamah Al-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dalam Naqdah Al Qaumiyah Al-Arabiyah (hal. 39) menyebutkan tentang siapa yang menjadikan hukum yang menyelisihi Al-Qur'an, maka ini adalah kerusakan yang besar, dan merupakan kekafiran yang nyata, murtad secara terang-terangan, sebagaimana firman Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabb mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Al-Nisa’: 65)
Dan firman Allah:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?“ (QS. Al-Ma’idah: 50)


Sampai kepada kata-kata: “……dan setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak menyerahkan urusan kepada hukum Allah, maka negara tersebut adalah negara jahiliyah, kafir, zhalim dan fasiq sesuai dengan nash ayat muhkamat (tegas) ini. Wajib bagi orang Islam untuk membencinya dan memusuhinya karena Allah, dan haram bagi kaum muslimin memberikan wala’ (kecintaan, pembelaan dan loyalitas) dan menyukainya, sampai negeri itu beriman kepada Allah yang Maha Esa, dan berhukum dengan Syariat-Nya”.


Siapa Pemimpin Kaum Mukminin(Amirul Mukminin) Itu?
Para pemimpin Islam yang wajib ditegakkan kaum muslimin ialah pemimpin yang menegakkan Al-Qur'an dan Sunnah, dan menerapkan syariat Islam dalam mengatur rakyatnya. Yang karena itulah mereka mendapatkan hak besar untuk didengar dan ditaati rakyatnya, di mana rakyat tidak boleh menentang dengan senjata dan memberontak terhadapnya, walaupun dia itu banyak berbuat maksiat, zalim, dan fasik selain kekufuran. (Lihat: Al-Wajiz: Intisari aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 192-193)


Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Engkau dengarkan dan taati pemimpinmu, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, maka dengarkan dan taatilah." (HR. Muslim no. 1847)
Dalam sabdanya yang lain, "Siapa yang benci kepada suatu (tindakan) pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar. Karena sesungguhnya tiada seorangpun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari pemimpinnya kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan ia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim no.1894)
Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 1855), "Dan jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya (saja), dan janganlah keluar dari ketaatan kepadanya."


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Orang yang memberontak kepada pemimpin pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan akibat perbuatannya." (Minhajus Sunnah, dinukil dari catatan kaki al-Wajiz: 194)
Kemudian beliau mengatakan, "Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syariat Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya, bahkan berhukum dengan selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum muslimin. Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya." (Minhajus Sunnah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz: 194)


Kenapa Pemimpin Seperti Itu Tidak Wajib Lagi Mendapatkan Ketaatan Dari Kaum Muslimin? 

Hal tersebut karena dia telah menyia-nyiakan maksud tujuan kepemimpinannya yang untuk itulah dia diangkat dan mempunyai hak untuk didengar ucapannya dan ditaati perintahnya serta tidak boleh keluar dari pemerintahan yang sah. Karena seorang penguasa tidak berhak mendapatkan itu semua melainkan karena dia mengerjakan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menegakkan hukum dan memperkokoh tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh, menumpas orang yang menentang Islam setelah didakwahi, memberikan loyalitasnya kepada kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslimin, maka berarti hilanglah hak kepemimpinannya, dan wajib bagi rakyat –melalui Ahlul Halli Wal 'Aqdi berhak melakukan penilaian dalam masalah tersebut- untuk menurunkan jabatannya dan mengangkat orang lain yang mampu merealisasikan tujuan pemerintahan.

Maka Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin hanya karena disebabkan kezaliman dan kefasikannya saja karena kefajiran dan kezaliman tidak berarti mereka menyia-nyiakan agama-, tapi masih berhukum dengan syariat Allah. Karena Salafush Shalih tidak mengenal suatu keamiran (kepemimpinan) yang tidak menjaga agama, maka ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran. Akan tetapi yang dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama. Kemudian setelah itu terjadi keamiran yang baik atau keamiran yang fajir. Imam Ali radliyallahu 'anhu berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat." Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i bisa dibagi." (Dari Kitab Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 194-195)
Jihad Tanpa Intruksi Amirul Mukminin Tidak Haram
Dalam pertemuan singkat antara Ustad Abu Bakar Ba'asyir dengan Nasir Abbas, Abdurrahman Al-Ayyubi, dan seorang teman kedunya, Ustadz Abu menyampaikan munculnya penghianat perjuangan Islam dari dalam diri umat Islam yang disebut "Salafi Dakhili".
“Dulu waktu saya masih di Malaysia, saya pernah disampaikan oleh ulama dari Thailand. Bahwa hati-hati kepada orang-orang salafi. Kalau kami (Ulama Thailand tersebut) menamakan mereka Salafi Dakhili. Karena mereka bentukan intern kerajaan Arab Saudi. Setelah saya pulang ke Indonesia saya melihat dan menemukan orang-orang Salafi Dakhili tersebut. Dan saya menyimpulkan bahwa paling sedikit ada dua tujuan Salafi Dakhili tersebut yaitu: Satu, menentang jihad dengan alasan tidak boleh jihad sebelum ada khilafah. Kedua, membantu toghut dengan alasan negara Islam itu adalah negara yang mayoritas penduduknya orang Islam di dalamnya masih terdengar suara azan," kata kiyai pendiri Pesantren Al-Mukmin, Surakarta kepada kedua mantan mujahid.
Menarik sekali penjelasan Ustad Abu di atas, para "Salafi" menentang jihad dengan alasan tidak boleh jihad sebelum ada khilafah. Dan sebagaimana pernyataan Abdurrahman Al-Ayyubi di atas, " . . . dan jihad itu diperbolehkan kalau amirnya memerintahkan untuk berjihad (maksudnya amir: SBY).”


Konsep jihad semacam ini tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kami belum pernah mendapatkan pendapat ulama salaf, bahwa syarat sah jihad harus berada di bawah komando amirul mukminin. Padahal saat sekarang tidak ditemukan pemimpin muslim yang benar-benar menjadikan syariat Islam sebagai Undang-undang negaranya. Ini adalah kesimpulan orang-orang akhir zaman yang mengaku sebagai pengikut ulama salaf, (Salafi). Tidaklah mesti setiap apa yang mereka simpulkan itu sesuai dengan pemahaman ulama salaf. Dan mereka juga tidak boleh menjadikan setiap kesimpulan mereka sebagai pendapat ulama salaf.


Konsep jihad yang tidak boleh ditegakkan kecuali dengan keberadaan amirul mukminin atau imam besar kaum muslimin adalah konsep jihad kaum Syi'ah. Dalam prinsip ajaran Syi'ah, tidak wajib shalat Jum'at dan tidak boleh ditegakkan jihad kecuali dengan adanya Imam. Dan sampai sekarang imam mereka yang ditunggu-tunggu kedatangannya tak juga keluar-keluar. Dan ini merugikan perjuangan Syi'ah sendiri. Maka berijtihadlah beberapa ulama dari mereka yang kemudian lahirlah konsep wilayatul faqih, sosok ulama yang memiliki wewenang sebagaimana wewenangnya imam. Sehingga dengan keputusannya, jihad boleh ditegakkan.
Tersebut dalam Tahdzib Kitab Mashari' al-'Usyaq Fi Fadhail al-Jihad, milik Imam Ahmad bin Ibrahim bin al-Nahhas al-Dimasyqi al-Dimyathi (Syahid tahun 814 H), pada pasal "Fiima Laa Budda li Al-Mujahid min Ma'rifatihi min al-ahkam" (Hukum-hukum yang wajib diketahui oleh mujahid),

Pertama, "Jihad tanpa izin Imam atau wakilnya adalah makruh (dibenci), tetapi tidak sampai haram. Dan dikecualikan beberapa kondisi berikut dari kemakruhannya: . . .
Kedua, Apabila imam meniadakan jihad, lalu dia dan pasukannya sibuk mengurusi dunia, yang merupakan fenomena di era ini dan di beberapa negeri, maka tidak dimakruhkan berjihad tanpa izin imam. Karena imam meniadakan jihad, sementara mujahidin menegakkan kewajiban yang ditiadakan."

Ketiga, Apabila orang yg ingin berjhad tidak mampu meminta izin, karena ia tahu jika meminta izin maka tidak akan diizinkan.(Mughni al-Muhtaj: 4/330)
Ibnu Qudamah berkata,
فإن عدم الإمام لم يؤخر الجهاد لأن مصلحته تفوت بتأخيره وإن حصلت غنيمة قسمها أهلها على موجب أحكام الشرع
"Sesungguhnya tidak adanya imam tidak diakhirkan jihad, karena kemashlahatan jihad akan hilang dengan mengakhirkannya. Jika diperoleh ghanimah maka pemiliknya membaginya sesuai dengan ketentuan hukum syar'i." (al-Mughni: 10/374)


Penutup
Sesungguhnya faham para ulama salaf (generasi sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan dua generasi setelahnya) adalah pemahaman yang lurus dan paling selamat. Setiap muslim hendaknya memahami Islam sesuai dengan apa yang telah pahami dengan baik dan mereka amalkan dalam kehidupan. Namun, perlu jujur dalam mengikuti faham mereka tersebut. Tidak boleh kita curang, mengatasnamakan kepada mereka setiap apa yang kita simpulkan. Sehingga ini akan menyebabkan kekacauan dalam kehidupan ber-Islam kaum muslimin yang jauh dari kemuliaan. 

Salah satu tema yang dinisbatkan kepada ulama salaf adalah urusan jihad yang wajib dibawah kepemimpinan amirul mukminin (imam). Padahal tidak ada keterangan dari mereka yang demikian. Bahkan kesimpulan tersebut bertentangan dengan nash-nash syar'i yang qath'i dan Ushul Syar'iyyah dan kaidah-kaidah fiqih, demikian ditulis oleh Hakim al-Mathiri, Syubhah; Laa Jihaada Illa Bi Wujudi Imam wa Raayah, dari situs Mimbar Tauhid wa al-Jihad. Wallahu Ta'ala A'lam. dikutip dari voa islam








Maksud Hadits, ''Allah Menolong Agama ini Dengan Orang Fajir''

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ustadz, saya pernah baca hadist yg intinya seperti ini: "Islam akan ditolong oleh orang fajir". Bagaimana kedudukan hadits tersebut Ustadz? Bagaimana penjelasan hadits tersebut? Terima Kasih Ustadz. Semoga Allah memberkahi kaum muslimin.
Hahn If
______________________________________
Oleh: Badrul Tamam
Wa'alaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuhu
Al-Hamdulillah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat dan salam teruntuk hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnhya.
Saudaraku yang mulia, hadits tersebut terdapat dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), berarti muttafaq 'alaih (disepakati kesahihannya).  Hadits tersebut cukup panjang dan di antara kalimat hadits tersebut:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
"Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali jiwa muslim dan sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan laki-laki fajir."
Bahkan Imam Bukhari menjadikannya sebagai judul bab: Bab Sesungguhnya Allah menguatkan (menolong) dien ini dengan laki-laki fajir.
Hadits tersebut menceritakan tentang seseorang yang sangat pemberani dalam berperang. Para sahabat mengaguminya. Tapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mempersaksikan bahwa ia sebagai penghuni neraka.
Dan ternyata benar sabda beliau ini. Saat perang berkecamuk, ia bertarung dengan sangat semangat dan ksatria. Lalu ia terluka parah. Sampai di suatu malam ia tak tahan dengan sakitnya. Ia tak sabar atas lukanya. Lalu ia bunuh diri.
Kemudian disampaikanlah berita itu kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lantas beliau bertakbir "Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya."

Kemudian beliau memerintahkan kepada Bilal agar mengumpulkan orang untuk menyampaikan, "Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali jiwa muslim dan sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan laki-laki fajir."
Bahwa terkadang seseorang itu terlihat hebat di mata manusia, tapi sebenarnya ia menyimpan sesuatu yang berlainan dengan itu, sehingga Allah memperlihatkannya pada akhir hayatnya.
Sehingga seorang muslim tidak boleh tertipu dengan amalnya sehingga sangat membanggakannya dan membuatnya sombong. Tidak boleh pula ia bersandar kepada amalnya tersebut dan melupakan Allah Ta'ala. Ia harus senantiasa takut dari tertolaknya amal, meminta rahmat Allah atas amalnya sehingga diterima dan diampuni dosanya.
Dan hendaknya ia terus meminta keteguhan dan hidayah kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala-Nya, berbuat apa yang diinginkan-Nya, dan memutuskan apa yang Dia kehendaki.
Dan sesungguhnya seseorang adakalanya sangat hebat di medan jihad, dan itu baik untuk pasukan. Sementara kefajirannya untuk dirinya sendiri. Ia merugi karenanya.
Oleh sebab itu, seorang mujahid wajiblah memperhatikan niat dan kondisi dirinya agar ia tidak merugi dalam amal jihadnya. Wallahu Ta'ala A'lam. (Badrul Tamam/voa-islam.com)



Muhasabah diri hindari sifat fajir

RASULULLAH SAW mendedahkan, dalam hakikat perjuangan Islam, wujudnya golongan manusia yang bergelumang dengan maksiat, melakukan kemungkaran, berjiwa munafik serta memang tidak beriman, tetapi turut serta berjuang menegakkan syiar Islam.
Riwayat Al-Bukhari menyatakan bahawasanya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menguatkan agama dengan lelaki yang fajir (jahat).” Menyentuh mengenai maksud fajir ini, sebahagian ulama Islam berpendapat yang dimaksudkan itu adalah orang berilmu dan berakal tetapi tidak beramal dengan ilmunya itu sedangkan orang lain mendapat faedah daripada ilmu yang diajar olehnya. Dalam hal berjihad, orang fajir mungkin punya andil besar untuk kemenangan kaum muslimin tetapi amalan yang ia lakukan ketika berjihad tidak bermanfaat untuk dirinya.
Selain itu, golongan pemerintah yang zalim juga turut tergolong dalam kumpulan manusia fajir.

Di dalam sejarah perjuangan Islam dari zaman dulu hingga sekarang terdapat banyak contoh yang menunjukkan manusia yang bersifat ‘fajir’ ini dapat mengelabuhi pandangan orang Islam dengan perjuangan mereka yang gigih untuk menegakkan Islam. Mereka ini sering meneriakkan kata-kata  perjuangan tetapi sebaliknya tindakan yang dilakukan  tidak sesuai dengan pandangan atau ilmu yang dilontarkan.

Hadis riwayat Muslim menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Kebanyakan para syahid umatku adalah orang yang mencari nama. Dan betapa banyak yang terbunuh antara dua barisan, Allah sajalah yang mengetahui dengan niat masing-masing.” Oleh itu, banyak diantara umat Islam yang hanya ‘berjihad’ untuk kepentingan diri saja dengan alasan menyebarkan ilmu serta dakwah Islam tetapi pada masa yang sama, tidak mempraktikkannya dalam kehidupan mereka.

Sebagai umat Islam, kita sebenarnya perlu bermuhasabah diri dan melihat kembali perbuatan yang kita lakukan sehari-hari.
Ini sebagaimana hadits tadi yang menyatakan bahwa kebanyakan orang berilmu hanya menurunkan ilmunya tetapi gagal mengamalkan ilmunya itu.

Kebanyakan merasa sempurna dengan ilmu yang diamalkan tanpa pernah melakukan muhasabah diri dan melihat kesilapan yang dilakukan seperti meninggalkan perkara kecil yang sebenarnya adalah tanggungjawab mereka.
Di dalam Islam, kita dituntut untuk melakukan muhasabah diri dengan menilai, memeriksa serta menghitung kesilapan yang dilakukan sebagaimana Rasulullah yang menyatakan ia cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sebahagian ulama salaf mengatakan: “Seseorang daripada kamu yang bermuhasabah dirinya sendiri adalah lebih hebat daripada muhasabah seorang teman terhadap temannya.” Ini menunjukkan amalan bermuhasabah terhadap diri sendiri adalah sangat penting dan diiktiraf oleh ulama karena individu yang bermuhasabah dirinya tentu mengakui kesilapan diri sendiri. Oleh itu, sebagai makhluk yang lemah dan senantiasa terdorong untuk tunduk kepada bisikan syaitan, kita cenderung untuk lebih mengambil berat mengenai kesehatan, kekuatan dan keindahan materi, hingga melupakan tanggungjawab untuk senantiasa menyuburkan hati dengan mengingati Allah, mengingat mati dan memperbaiki diri. Disebabkan terlalu sibuk dengan urusan dunia yang tidak habis-habis, kita mengabaikan hati dan keperluan rohani. Kita sibuk mengumpul harta  mengisi keperluan hidup di dunia dan ada kalanya, harta itu tidak pula mendatangkan manfaat kepada kita, malah melalaikan kita daripada mengingati Allah. Jadi, seharusnya, sebagai seorang yang mengaku beriman dan berilmu, hendaklah kita berhati-hati daripada sifat ‘fajir’ dan  ‘riya’ yang membuat segala amalan terhapus dan terlepas daripada mencium bau syurga karena setiap  perbuatan akan dihitung dan diazab Allah SWT kelak.

Oleh: Bilal Atkinson - Inggris.
Penterjemah: A.Q. Khalid

‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:69)

Kata bahasa Arab yaitu Jihad yang dikemukakan dalam ayat Al-Quran ini diterjemahkan sebagai ‘berjuang.’ Kata Jihad itu memang secara relatif pendek sekali tetapi implikasinya luar biasa dalam masyarakat Islam secara keseluruhan dan dalam kehidupan pribadi seorang Muslim. Jihad sebagaimana diperintahkan dalam Islam bukanlah tentang membunuh atau dibunuh tetapi tentang bagaimana berjuang keras memperoleh keridhaan Ilahi. Baik individual mau pun secara kolektif, Jihad merupakan suatu hal yang esensial bagi kemajuan ruhani.

Kata Jihad itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa kita selalu dalam keadaan siap untuk berkelahi atau melakukan perang. Hal itu sama sekali jauh dari kebenaran dan realitas. Arti kata Islam sendiri berarti kedamaian dan semua usaha dan upaya kita sewajarnya diarahkan kepada penciptaan kedamaian serta harmoni di antara sesama kita, dalam komunitas dan dalam masyarakat secara keseluruhan.

Dalam kamus, kata Jihad diartikan sebagai berjuang tetapi juga sebagai ‘perang suci.’ Dalam kamus bahasa Inggris (Oxford Reference Dictionary) malah Jihad diartikan sebagai ‘perang untuk melindungi Islam dari ancaman eksternal atau untuk siar agama di antara kaum kafir.’ Kata suci dan perang sebenarnya tidak sinonim satu sama lain, bahkan saling bertentangan karena tidak ada yang suci pada dampak dan kengerian peperangan. Sangat menyedihkan bahwa kata ‘Jihad’ ini di masa kini sudah demikian disalah-artikan oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya dalam media mereka. Sepintas, kesalah-pahaman demikian bisa dimengerti karena dalam milenium terakhir ini ada beberapa kelompok Muslim ekstrim dimana pimpinan mereka menterjemahkan ‘Jihad’ sebagai Perang Suci. Mereka mengenakan kata Jihad itu pada segala perang yang mereka lakukan, apakah untuk tujuan politis, ekonomi atau pun motivasi ekspansi. Akibat dari kesalahan istilah demikian, agama Islam secara keliru telah dituduh mendapatkan pengikutnya melalui cara pemaksaan dan laku kekerasan.

Kata Jihad itu sendiri dalam Al-Quran digunakan dalam dua pengertian: – Jihad fi Sabilillah – berjuang keras di jalan Allah, – Jihad fi Allah – berjuang keras demi Allah. Arti kata yang pertama menyangkut perang mempertahankan diri dari musuh kebenaran ketika mereka berusaha memusnahkan agama ini, sedangkan pengertian kata yang kedua adalah berusaha atau berjuang keras guna memenangkan keridhoan dan kedekatan kepada Allah s.w.t.. Kata yang kedua itu lebih mengandung signifikasi keruhanian yang lebih tinggi dibanding kata yang pertama.

Jihad ada tiga jenis:
  1. Berjuang melawan sifat dasar yang buruk dalam diri sendiri yaitu melawan nafsu dan kecenderungan kepada kejahatan.
  2. Berjuang melalui karya tulis, bicara dan membelanjakan harta guna penyiaran kebenaran Islam serta mengungkapkan keindahannya kepada non-Muslim.
  3. Berjuang melawan musuh kebenaran, termasuk di dalamnya perang membela diri.

Rasulullah s.a.w. mengistilahkan kedua Jihad yang pertama sebagai Jihad Akbar sedangkan yang ketiga sebagai Jihad Ashgar (Jihad yang lebih kecil). Suatu ketika saat kembali dari suatu peperangan, beliau menyatakan:

‘Kalian telah kembali dari Jihad yang kecil (berperang melawan musuh Islam) untuk melakukan Jihad yang lebih besar (berperang melawan nafsu rendah). (Khatib)

Jihad Ashgar

Kami akan menjelaskan terlebih dahulu Jihad yang kecil yaitu Jihad Ashgar sebelum mengulas Jihad Akbar. Usia  Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah empat puluh tahun saat datang panggilan Ilahi. Wahyu dan perintah pertama yang diterima beliau sebagai bagian dari Al-Quran adalah:

‘Bacalah dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dia Tuhan engkau adalah Maha Mulia; yang mengajar dengan pena; mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.’ (S.96 Al-Alaq:1-5)

Perintah pertama Allah s.w.t. ini jelas sekali menyuruh beliau untuk menyebarkan ajaran Islam, baik secara lisan mau pun tulisan dan bukan dengan kekerasan, bukan dengan pedang atau pun tindakan agresif apa pun. Kata yang pertama saja sudah menyatakan untuk menyampaikan pesan, memaklumatkan ke seluruh dunia akan wahyu dan ajaran Allah s.w.t. melalui keluhuran Al-Quran.

Tak lama kemudian  Rasulullah s.a.w. diperintahkan untuk menyatakan secara terbuka dan merata segala apa yang diwahyukan kepada beliau. Upaya beliau menyampaikan pesan Ilahi ini kepada masyarakat sekeliling beliau di Mekah ternyata hanya membuahkan cemooh dan memancing kekerasan. Pada awalnya hanya ada empat orang yang beriman kepadanya dan ketika hal ini didengar penduduk Mekah, mereka lantas saja menertawakan dan mencemooh. Dengan bertambah banyaknya ayat Al-Quran yang diwahyukan, tambah banyak pula orang-orang yang tertarik dan mengikuti pesan baru itu, terutama para pemuda, yang lemah dan yang tertindas dalam masyarakat Mekah. Apalagi wanita, dimana mereka tertarik kepada agama baru ini karena agama tersebut memberikan harga diri dan kehormatan kepada mereka di tengah bapak, suami dan putra-putra mereka, suatu hal yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya mengingat mereka terkadang diperlakukan lebih buruk dari hewan.

Keberhasilan Rasulullah s.a.w. ini berimbas buruk terhadap diri beliau dan para pengikut awal. Penduduk Mekah melancarkan laku aniaya yang tambah lama tambah kejam dan buas dengan berjalannya waktu. Mereka menjadi ketakutan bahwa agama baru itu akan mengakar kuat dan agama serta budaya mereka sendiri menjadi hancur karenanya. Karena rasa takut itulah maka penduduk Mekah yang kafir itu lalu menghunus pedang dan berpesta menjagal para hamba Allah yang setia dan benar. Jalan-jalan di kota Mekah menjadi merah oleh darah umat Muslim, namun mereka ini tetap saja tidak membalas. Kerendahan hati dan sikap istiqomah mereka malah mendorong para penganiaya tersebut untuk bertindak lebih kejam lagi dimana mereka memperlakukan umat Muslim dengan cara aniaya dan pelecutan yang ekstrim. Banyak orang tua yang harus menyaksikan anaknya dibantai di depan mata mereka sendiri dan beberapa orang tua disalib di depan mata anak-anaknya.

Apa yang menjadikan orang-orang itu beriman kepada Rasulullah s.a.w., seorang laki-laki yang pada waktu itu tidak memiliki kekuasaan atau pun kekayaan, beliau jelas tidak ada menghunus pedang guna memaksa pengikutnya untuk beriman kepadanya dan pesan yang dibawanya. Satu-satunya ‘pedang’ yang digunakan  Rasulullah s.a.w. hanyalah Al-Quran, sebuah pedang ruhani, pedang kebenaran, yang secara alamiah telah menarik hati mereka yang tidak percaya, tanpa suatu agresi dalam bentuk apa pun. Demikian itulah keindahan, keagungan dan daya tarik Islam serta diri Muhammad yang menyiratkan kebaikan dan kasih sehingga mereka ini bersedia menyerahkan nyawa untuk itu. Adalah orang-orang non-Muslim, terutama penduduk Mekah, yang telah mengangkat pedang fisik mereka untuk menyerang umat Muslim guna memaksa mereka kembali kepada ajaran dan agama lama mereka.

Setelah Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah, kekejaman bangsa kafir Quraish malah tambah melampaui batas. Mereka lantas membunuhi para pengikut lemah yang masih tertinggal di Mekah, termasuk wanita dan anak-anak yatim. Meski Rasulullah s.a.w. beserta banyak dari para sahabat telah hijrah ke Medinah, tetap saja mereka tidak dibiarkan hidup damai. Tetap saja mereka ini diganggu terus di tempat yang baru itu. Pada saat itu agama Islam yang baru muncul itu ditingkar musuh di segala penjuru dan terancam kepunahan. Berkenaan dengan keadaan seperti itulah maka perintah pertama tentang Jihad kecil lalu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w.:

‘Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.’ (S.22 Al-Hajj:39)

Para ulama sependapat bahwa ini adalah ayat pertama yang memberi izin kepada umat Muslim untuk mengangkat senjata guna melindungi diri mereka. Ayat ini meletakkan dasar-dasar yang menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam melakukan perang defensif. Jelas dikemukakan disitu alasan yang telah mendorong segelintir umat Muslim tidak bersenjata dan sarana lainnya untuk berperang mempertahankan diri setelah menderita dengan sabar sekian lamanya. Mereka menderita aniaya terus menerus selama bertahun-tahun di Mekah dan masih terus diburu kebencian meski telah hijrah ke Medinah. Alasan utama umat Muslim mengangkat senjata adalah karena mereka telah diperlakukan dengan aniaya. Mereka telah menderita tak terbilang lagi aniaya musuh dan perang telah dipaksakan terhadap mereka.

Ayat Al-Quran berikutnya menegaskan inferensi tersebut dimana dinyatakan bahwa izin untuk berperang diberikan karena umat Muslim telah diusir dari rumah mereka:

Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.”  Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa.’ (S.22 Al-Hajj:40)

Secara spesifik Al-Quran menegaskan bahwa bentuk Jihad ini adalah berperang melawan mereka yang telah menyerang Islam terlebih dahulu, dimana ayat-ayat Al-Quran lainnya juga menguatkan hal ini. Umat Muslim hanya boleh mengangkat senjata untuk membela diri terhadap mereka yang telah terlebih dahulu menyerang dan hanya jika umat Muslim memang tertindas dan teraniaya. Hal inilah yang menjadi sukma dan esensi daripada Jihad Islamiah yang sekarang ini banyak disalah-artikan. Jelas tidak benar sama sekali jika dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w. hanya memberikan pilihan kepada umat untuk bai’at atau mati, Islam atau pedang.

Jihad dengan pedang yang terpaksa dilakukan Rasulullah s.a.w. serta umat Muslim awal karena tekanan keadaan yang khusus, adalah suatu phasa yang bersifat selintas dalam penegakan fondasi Islam. Mereka yang berusaha menghancurkan Islam dengan pedang, akhirnya punah karena pedang juga. Kecuali ada suatu bangsa atau negara yang memaklumkan perang terhadap umat Muslim dengan tujuan memupus Islam dari muka bumi, tidak ada perang atau pertempuran yang dilakukan umat Muslim yang bisa disebut sebagai Jihad. Tujuan dari umat Muslim dalam mengangkat senjata tidak pernah untuk mengkaliskan siapa pun dari rumah atau harta benda atau pun kemerdekaan mereka. Jihad perang hanya dibenarkan untuk membela diri guna menyelamatkan Islam dari suatu kehancuran, menegakkan kemerdekaan berpendapat disamping juga untuk membantu mempertahankan tempat-tempat ibadah umat agama lain dari kerusakan atau penghinaan. Singkat kata, tujuan utama dari perang yang dilakukan umat Muslim adalah guna menegakkan kebebasan beragama dan beribadah, membela kehormatan diri dan kemerdekaan terhadap serangan tidak beralasan, dan itu pun kalau ada alasan bahwa hal tersebut akan terjadi lagi.

Umat Muslim di masa awal tidak memiliki pilihan lain kecuali berperang karena mereka terpaksa harus melakukannya. Perang yang bersifat agresif sejak dulu mau pun kini tetap dilarang oleh Islam. Kekuatan politis negeri-negeri Muslim tidak boleh digunakan untuk ambisi atau pengagulan pribadi, tetapi hanya untuk perbaikan kondisi rakyat yang miskin serta demi pengembangan perdamaian dan kemajuan. Contoh akbar mengenai hal ini ada pada saat Rasulullah s.a.w. beserta para pengikut beliau kembali ke Mekah dengan kemenangan. Beliau berbicara kepada penduduk Mekah, menyampaikan:

‘Kalian telah melihat betapa sempurnanya janji Allah. Sekarang beritahukan kepadaku hukuman apa yang pantas dikenakan kepada kalian atas segala kekejaman dan kebengisan kalian terhadap mereka yang kesalahannya hanyalah karena mereka telah mengajak kalian untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa? Mendengar itu penduduk Mekah menjawab: “Kami ingin engkau memperlakukan kami seperti Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya yang bersalah.” Mendengar permohonan tersebut, Rasulullah s.a.w. langsung menjawab “Demi Allah, kalian tidak akan dihukum sekarang ini dan tidak juga dimurkai.” (Hisham)

Al-Quran menyatakan:

Dan, perangilah mereka itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya bagi Allah. Tetapi, jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.’ (S.8 Al-Anfal:39)

Ayat di atas menjelaskan kalau perang hanya boleh dilanjutkan sepanjang masih ada laku aniaya dan manusia belum bebas menganut agama yang mereka sukai. Jika musuh-musuh Islam menghentikan perang maka umat Muslim juga harus berhenti pula.

Bangsa yang paling pantas mendapat hukuman sesungguhnya penduduk Mekah itulah. Kalau Islam memang disiarkan melalui tekanan senjata, maka kejadian kemenangan umat Rasulullah s.a.w. atas Mekah merupakan saat paling tepat guna mengayunkan pedang untuk pembalasan dan penaklukan agar orang-orang masuk ke dalam Islam. Tetapi nyatanya tidak demikian, penduduk Mekah tunduk bukan karena pedang tetapi karena kasih sayang. Kasih kepada diri Rasulullah s.a.w. dan kecintaan pada ajaran Al-Quran yang mencerahkan kalbu.

Al-Quran menyatakan:

‘Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan. . .’ (S.2 Al-Baqarah:256)

Ayat di atas mengingatkan umat Muslim secara jelas dan gamblang untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menarik non-Muslim ke dalam agama Islam. Dijelaskan juga alasannya mengapa kekerasan itu tidak perlu digunakan yaitu karena jalan yang benar telah nyata bedanya dari jalan kesesatan sehingga tidak ada pembenaran untuk menggunakan kekerasan. Rasulullah s.a.w. secara tegas diingatkan Allah s.w.t. agar tidak menggunakan kekerasan dalam upaya memperbaiki masyarakat. Status beliau ditegaskan dalam ayat Al-Quran:

Maka nasihatilah, sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi nasihat. Engkau bukan penjaga atas mereka.’ (S.88 Al-Ghasyiyah:21-22)

Ajaibnya ayat di atas itu diwahyukan di Mekah di masa awal himbauan Rasulullah s.a.w. dimana beliau telah diisyaratkan akan memperoleh kekuasaan besar tetapi jangan menggunakannya untuk memaksakan kehendak diri beliau atas orang lain. Pada intinya Rasulullah s.a.w. tidak pernah menarik orang ke dalam agama Islam dengan kekuatan pedang tetapi melalui laku takwa, kasih dan pengabdian beliau kepada Allah s.w.t. yang telah menaklukkan hati para musuh sedemikian rupa sehingga mereka yang tadinya berniat membunuhnya malah kemudian tunduk di kaki beliau dan mempertahankan beliau dari serangan para musuh.
Pada saat haji perpisahan, Rasulullah s.a.w. dalam penutupan Khutbah Perpisahan beliau menyatakan:

‘Seperti halnya bulan ini suci, tanah ini tanah suci dan hari ini hari suci, demikian pula halnya Tuhan telah menjadikan jiwa, harta benda dan kehormatan tiap-tiap orang juga suci. Merampas jiwa seseorang atau harta bendanya atau menyerang kehormatannya adalah tidak adil dan salah, sama halnya seperti menodai kesucian hari ini, bulan ini dan daerah ini. Apa yang kuperintahkan pada hari ini dan di daerah ini berarti bukan hanya untuk hari ini. Perintah-perintah ini adalah untuk sepanjang masa. Kalian diharapkan mengingat dan bertindak sesuai dengannya sampai kalian meninggalkan alam dunia ini dan berangkat ke alam nanti untuk menghadap Khalik-mu.’

Sebagai penutup beliau bersabda:

‘Apa-apa yang telah kukatakan kepada kalian, sampaikanlah ke pelosok-pelosok dunia. Mudah-mudahan mereka yang tidak mendengarku sekarang akan mendapatkan faedah lebih daripada mereka yang telah mendengarnya.’ (Sihah Sitta, Tabari, Hisyam dan Khamis)

Kepedulian Rasulullah s.a.w. yang sangat atas kesejahteraan umat manusia dan penciptaan kedamaian di seluruh dunia sungguh tidak ada batasnya. Adalah suatu tragedi bahwa dalam masa sekitar seribu tahun terakhir ini para pemuka dan negeri Muslim, sebagian besar telah mengabaikan hakikat ajaran Al-Quran dan Rasulullah s.a.w. semata-mata hanya untuk pemuasan keserakahan dan nafsu kekuasaan atau mencari kekayaan. Mereka berperang satu sama lain untuk memperebutkan kekayaan duniawi dan melalui laku lajak mereka telah menganiaya orang-orang yang tidak berdosa. Secara culas mereka telah mengkhianati bangsanya sendiri dan sesama negeri Muslim hanya untuk mendapatkan kekayaan moneter dan kekuasaan dari musuh-musuh Islam. Sebagian besar dari pemuka ruhani dan duniawi telah menyesatkan bangsanya sendiri dan membawa kebusukan dalam tubuh, fikiran dan jiwa masyarakat. Pada masa kini, beberapa anak muda Muslim secara konyol telah ‘dicuci otaknya’ sehingga menganggap laku barbar, teror, bunuh diri dan pembunuhan yang mereka lakukan akan menjadikan mereka mendapat derajat syuhada. Sesungguhnya mereka ini telah membawa kebusukan ke ambang pintu agama yang katanya mereka cintai. Nama Islam sekarang tidak lagi bernuansa kedamaian melainkan disinonimkan dengan laku teror.

Sebagian besar negara-negara di dunia pernah melancarkan perang politis tetapi kelihatannya hanya negeri-negeri Muslim yang melaksanakan perang Jihad dimana mereka telah membantai satu sama lainnya. Berkaitan dengan itu perlu kiranya disinggung juga kejadian di New York (peristiwa 11 September) dan apa yang terjadi di Afghanistan dan Timur Tengah dimana ‘Jihad Islam’ telah dilancarkan membabi-buta oleh organisasi-organisasi Muslim ekstrim terhadap bangsa-bangsa non-Muslim.

Rasulullah s.a.w. ada mengingatkan bahwa umat Muslim di akhir zaman, terutama para pemuka mereka, akan jauh sekali dari hakikat Islam dan bahkan sebagian dari mereka akan menjadi seburuk-buruknya mahluk. Para pemuka ini akan menyesatkan para muda-mudi Muslim yang sebenarnya memiliki intelegensi cukup. Para pemuka ini mendidik dan mengindoktrinasi mereka bahwa jika mereka menyerahkan nyawa dalam apa yang mereka katakan sebagai jalan Islam, maka mereka ini akan langsung masuk surga sebagai suhada. Betapa bohongnya mereka itu dan betapa menipunya. Mestinya umat Islam bertanya kepada para pemuka itu “Atas kewenangan siapa kalian ini membuat pernyataan seperti itu?” Wahai muda-mudi Muslim yang diperintahkan melakukan tindakan mengerikan demikian, kalau seperti kata mereka itu bahwa kalian akan jadi suhada dan masuk surga, katakanlah kepada mereka silakan tunjukkan teladannya dengan melakukannya sendiri. Tanyakan kepada mereka itu ‘Mengapakah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?’ (S.61 Ash-Shaf: 2)

Laku demikian sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu amal saleh, bahkan lebih merupakan pencemaran nama Islam serta pendurhakaan terhadap firman Tuhan. Al-Quran jelas menyatakan:

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta bendamu antara sesamamu dengan jalan batil, kecuali yang kamu dapatkan dengan perniagaan berdasar kerelaan di antara sesamamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.’ (S.4 An-Nisa: 29)

Kata-kata ‘janganlah kamu membunuh dirimu’ melarang keras tindakan bunuh diri. Disamping itu apakah mungkin laku pembunuhan orang-orang tidak berdosa dianggap sebagai amal saleh yang akan memberikan izin seorang Muslim masuk pintu surga? Yang pasti adalah membuka jalan ke pintu neraka! Abu Zaid bin Thabit bin Dhahak meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

‘Barangsiapa yang bersumpah palsu dan tidak mengatakan keadaan yang sebenarnya, sesungguhnya ia bukan dari pengikut Islam sebagaimana ia menganggap dirinya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebuah alat maka ia akan disiksa dengan alat itu pada Hari Penghisaban. Seseorang tidak boleh bersumpah tentang sesuatu yang bukan haknya. Mengutuk seorang mukminin sama saja dengan membunuhnya.’ (Bukhari, Kitab Adab, bab Memanggil dengan nama buruk dan mengutuk)

Dengan demikian para pria dan wanita yang menyebut dirinya Muslim yang berencana membunuh dirinya atau mengajak orang lain untuk bunuh diri dengan menggunakan bom sehingga menyebabkan matinya orang-orang yang tidak berdosa, perhatikanlah ayat Al-Quran dan Hadith dari Penghulu kalian. Bukan derajat suhada yang akan kalian peroleh tetapi neraka jahanam.

Terorisme di abad modern ini sama sekali bertentangan dengan visi dan penafsiran tentang hakikat Jihad Islamiah. Perang politis tidak bisa disebut sebagai Jihad. Teriakan Jihad terdengar berulang-ulang dan dari berbagai penjuru. Namun apa sebenarnya makna Jihad yang dimaksud Allah s.w.t. dan Rasul-Nya? Apa yang menjadi Jihad di masa kini yang patut kita ikuti? Al-Quran mengemukakan Jihad lain yang disebut sebagai Jihad Akbar sebagai:

‘Janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran ini dengan jihad yang besar.’ (S.25 Al-Furqan:52)

Jihad akbar dan hakiki menurut ayat ini adalah melaksanakan dan mengajarkan isi Al-Quran.Sekarang ini bukan lagi masanya menghunus pedang tetapi saatnya menggunakan hujjah. Apa yang dimaksud dengan hal ini dan bagaimana caranya kita harus masuk dalam medan laga agar manusia menyadari keindahan Islam dan ajarannya? Salah satu jawabannya adalah dengan memahami makna dari Jihad Fiallah atau Jihad Akbar yaitu Jihad terhadap nafsu dan kecenderungan buruk dalam diri kita, khususnya perjuangan kita melawan Syaitan. Inilah yang dimaksud dengan Jihad hakiki, Jihad individual guna memperbaiki diri menjadi saleh dan hamba Allah serta merobah Syaitan-syaitan dalam diri kita menjadi Muslim yang muttaqi agar kita bisa menarik orang lain ke dalam agama Islam. Al-Quran menyatakan:

‘Barangsiapa berjuang maka ia berjuang untuk dirinya pribadi, sesungguhnya Allah Maha Kaya, bebas dari sekalian mahluk-Nya.’ (S.29 Al-Ankabut:6)

Ayat ini menggambarkan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan seorang Mujahid, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah. Wawasan agung dan luhur yang dilaksanakan secara konsisten dan konstan dalam praktek aktual itulah yang dimaksud sebagai Jihad dalam terminologi Islam, sedangkan orang yang melaksanakan dan mengamalkannya disebut sebagai Muhajid. Kita ini harus menjadi teladan yang sempurna dari ajaran Islam dan untuk itu kita harus memahami ajaran Al-Quran serta sunah Rasul. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa sebaik-baik pernyataan dari keimanan yang hakiki adalah orang lain selalu terpelihara dan hidup damai karena perlindungan kita. Islam disebut agama yang terbaik ialah jika semua orang aman dari kita dan kita tidak pernah mencederai mereka baik dengan tangan atau pun lidah (Bukhari, Kitabul Iman).

Hadith itu merupakan kesimpulan dan teladan sempurna untuk kehidupan kita di dalam masyarakat. Wajib bagi setiap Muslim bahwa perilakunya harus menjadi teladan dan tidak ada siapa pun yang akan dirugikan dengan cara apa pun. Hal ini menjadi bagian dari keimanan dan senyatanya menjadi dasar dalam hubungan kita dengan Allah s.w.t.. Sebagai seorang mukminin sejati, kita tahu bahwa tujuan utama dalam kehidupan ini adalah mendekati Allah s.w.t.. Hidup ini singkat sekali dan sebelum kita sadari, separuh usia sudah lewat dengan cepatnya. Kita mengetahui dari Al-Quran bahwa hubungan seperti itu bisa diciptakan, namun juga dinyatakan bahwa kita harus berjuang mencarinya. Jika kita perhatikan kehidupan duniawi, kita bisa melihat upaya perjuangan seperti apa yang harus dilakukan guna mencapai keberhasilan. Cara yang sama dengan berjuang di jalan Allah akan menuntun kita pada pertemuan dengan Wujud-Nya.

Semestinya kita menilik ke dalam batin sendiri dan melihat berapa banyaknya waktu dan upaya yang dikeluarkan bagi keruhanian setiap harinya. Apakah ada kita berupaya setengah atau bahkan seperempat dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk dunia? Apakah hati kita sesungguhnya mendambakan kasih Allah sebagaimana halnya mendambakan kemewahan dunia? Apakah ada kita menghabiskan waktu yang banyak untuk berdoa, membaca Al-Quran, membelanjakan harta dan waktu di jalan Allah? Apakah hati kita ada menangis melihat penderitaan saudara-saudara kita dan apakah ada kita berupaya datang kepada mereka dengan tulus hati menyampaikan pesan Ilahi? Adakah kita mematuhi sepenuhnya ketentuan dan peraturan dalam Kitabullah, karena sesungguhnya tidak ada petunjuk yang lebih baik daripadanya. Semua ketentuan dan peraturan tersebut adalah bagi kemaslahatan kita sendiri. Siapa yang mengetahui jalan Allah yang terbaik kecuali Allah sendiri? Kita semestinya mematuhi kaidah Ilahi guna memastikan bahwa kita terpelihara dari pengaruh jahat internal mau pun eksternal diri kita serta mencerahkan perjalanan ruhani. Semua itu memerlukan perubahan dalam kebiasaan dan gaya hidup yang selama ini dianut. Fikiran dan pandangan perlu diubah dan dimodifikasi. Upaya demikian adalah berat dan melelahkan tetapi semua perjuangan memang berat dan menyakitkan adanya.

Orang-orang yang hidup berdasarkan pedoman Tuhan dan selalu berjuang di jalan-Nya maka mereka menjadi teladan hidup dari hamba-hamba Allah. Mereka kelihatan menonjol dibanding lingkungannya. Ada perubahan sempurna dalam internal dan eksternal pribadi mereka sehingga orang-orang lain akan terpana dan menghormati mereka karena adanya nur Ilahi yang bersinar dari wajah mereka. Mereka itu senyatanya menjadi bukti hidup dari ayat Al-Quran bahwa:

‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:70)

Kata Jihad itu mencakup keseluruhan aktivitas positif yang harus dilakukan seorang Muslim dan kita semua harus berlaku sebagai Mujahid yang secara istiqomah memperbaiki diri. Berjuang demi Allah membutuhkan tekad bulat dan keteguhan hati, dimana hal ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa keimanan, pemahaman dan keyakinan yang hakiki kepada Wujud Maha Agung yang Maha Kuasa serta kepastian adanya kehidupan setelah kematian. Jika seorang Muslim meyakini bahwa keimanannya itu benar adanya, agama yang dianutnya itu juga benar maka ia tidak perlu takut kepada orang-orang yang berusaha menariknya keluar dari keimanan demikian. Sebaliknya, ia harus menerima mereka di rumahnya dengan senang hati dan melalui amal dan kata yang saleh, insya Allah, bisa menarik mereka ke dalam agamanya.

Sebelum masuk menjadi Muslim Ahmadiyah sekitar 14 tahun yang lalu, saya selalu berusaha selama hampir dua tahun untuk menarik seorang teman Ahmadi ke dalam agama Kristen. Teman ini sama sekali tidak mengambil sikap permusuhan, malah ia banyak mengajarkan kepada saya kebenaran agamanya dalam kata dan amal perbuatan, sehingga akhirnya tidak saja saya malah jatuh cinta kepada agama Islam, bahkan aku mencintai teman ini sebagaimana seseorang mencintai saudara kandungnya sendiri. Ia selalu menempatkan agama dan kewajiban agama di muka segalanya, bahkan kepentingan keluarganya sendiri. Melalui kata-kata dan amalnya yang saleh serta mengikuti teladan Rasulullah s.a.w. ia ini tidak saja berhasil menyeru saya tetapi juga banyak orang Inggris lainnya ke dalam Islam yang hakiki. Ia melaksanakan Jihad hakiki, tidak dengan kekerasan tetapi dengan ajakan yang lembut. Ia banyak mengalami rintangan namun kesabaran dan sifat istiqomahnya, terlebih lagi kecintaannya kepada sang Khalik, telah menjadikan dirinya sebagai penyeru kepada Allah yang paling berhasil.

Pedih hati ini menyaksikan laku ketidakadilan yang ditimpakan bangsa-bangsa Barat terhadap umat dan negeri-negeri Muslim. Tetapi lebih menyedihkan lagi menyaksikan tindakan orang-orang yang menyebut dirinya Muslim yang mencanangkan Jihad terhadap siapa pun yang tidak sependapat dengan penafsiran mereka tentang ajaran Islam dimana mereka melakukan tindak kekejaman yang memalukan atas nama Islam. Bagaimana bisa mereka menarik minat orang lain kepada agama Islam?

Betapa menyedihkan dan memalukan bahwa seorang yang asing sama sekali dan tidak pernah merugikan kita dan sedang menjalankan perintah kedinasannya, lalu ditembak mati tanpa alasan sehingga isterinya menjadi janda, anak-anaknya menjadi yatim serta tempat tinggalnya menjadi rumah berkabung. Hadith mana dan ayat Al-Quran mana yang memerintahkan tindak laku yang keji seperti itu? Apakah ada seorang saja ulama  yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini? Umat awam yang tidak berpengetahuan, begitu mendengar kata Jihad lalu menjadikannya sebagai pembenaran untuk memenuhi nafsu pribadi mereka sendiri.


Bilal Atkinson adalah seorang Inggris pensiunan polisi dan sekarang menjadi Amir Muballigh Wilayah Ahmadiyah dari bagian Timur Laut Inggris.






Jenis-jenis Jihad Dalam Islam


1. Jihadun Nafsi
Yaitu Pembinaan/Tarbiyyah manusia terhadap dirinya untuk menta’ati Allah, menolak fitnah syahwat dan 
syubhat, dan melaksanakan ketaatan walupun ia amat berat dan tidak disukai oleh hawa nafsunya.

2. Jihadus Syaitan 
Yaitu Jihad melawan syaitan dengan menolak syahwat dan syubhat yang dilontarkan (godaan syaitan) 
kepada manusia. Jihad terhadap syaitan dengan menolak syubhat yaitu dengan ilmu yang manfa’at dan 
warisan para nabi sehingga membuahkan keyakinan yang teguh kedalam hati. sedangkan Jihad terhadap 
syaitan dengan menolak syahwat dan segala keinginan yang merusak yaitu dengan perasaan takut kepada 
Allah dan banyak mengingat perjumpaan dengannya dan kedudukannya dihadapan Alla swt.3. Jihadul Kuffar 
Yaitu Jihad menghadapi orang kafir dengan memerangi dan membunuh mereka, dan mengerahkan segala 
yang diperlukan dalam peperangan baik berupa harta, jiwa dan yang lainnya sebagaimana sabda nabi 
Muhammad saw :

“Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, diri dan lisanmu.” (HR Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad,
 Ibnu Hibban, Hakim, Baihaqi, Baghawi dan Ibnu Asakir dari Anas ra)4. Jihadul Murtaddien.
Perbuatan orang Murtad disebut Riddah.
Menurut bahasa : Riddah adalah mundur yaitu kembali dari sesuatu menuju sesuatu yang lain. jadi orang 
Murtad adalah orang yang kembali kepada kekafiran sesudah masuk Islam.
Menurut Syara’ : Riddah ialah kembali dari Islam kepada kekafiran. Jadi Murtad bermakna orang yang 
menjadi kafir sesudah memeluk Islam, baik dengan ucapan, keyakinan, keraguan ataupun dengan 
perbuatan. Seseorang atau sesuatu kumpulan boleh menjadi Murtad dengan melalui salah satu dari 
beberapa sebab berikut ini, antara lain :

1. Mempersekutukan Allah apakah melalui I’tikad, ucapan ataupun perbuatan seperti sujud kepada berhala 
atau berjalan ke gereja dengan fesyen orang Nashrani.
2. Mengingkari agama Islam atau satu rukun padanya, atau mengingkari satu hukum Islam yang dapat 
diketahui secara daruri
3. Orang yang meng’itikadkan bahwa tidak wajib berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah.
4.Orang yang meninggalkan Solat karena mengingkari kewajibannya, dan demikian pula jika ia mengingkari 
kewajiban sholat walaupun tidak meninggalkannya.
5. Orang yang meninggalkan solat karena kesombongan atau kedengkian.
6. Orang yang meninggalkan solat karena meremehkan dan memandang hina terhadap sholat
7. Orang yang meninggalkan solat, dan berterusan meninggalkannya hingga dibunuh
8. Orang yang meninggalkan solat karena berpaling daripadanya, ia tidak mengakui kewajiban solat dan 
tidak pula mengingkarinya.
9. Dan banyak lagi yang lainnya.

Perbuatan perbuatan diatas jika dilakukan oleh seorang yang baligh serta berakal, baik laki-laki maupun 
wanita dan perbuatan demikian dilakukan dengan inisiatif sendiri maka perbuatan itu menjadikannya 
Murtad.Hukum mengenai orang murtad ini adalah dibunuh.
Firman Allah :
“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
 yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” 
(QS Al-Baqarah ayat 217)

“Siapa yang menukarkan agamanya maka bunuhlah ia.” (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i dan 
Ibnu Majah)4. Jihadul Bughat al-Kharijin
Firman Allah :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah
satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang 
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada 
perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah 
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Hujarat 9)

Sabda Nabi saw :
“Jika telah dibai’at bagi dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir diantara keduanya.”
5. Jihadul Muhabirin al-Mufsidin

Firman Allah:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat 
kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan 
untuk mereka di dunia, dan akhirat mereka akan mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang 
taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka: maka ketahuilah bahwasannya 
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah 33-34)6. Jihadul Munafiqin.
Yaitu Jihad menghadapi orang-orang munafiq dengan lisan, menegakkan hujjah atas mereka, mencegah mereka 
dari sikap kekafiran yang tersembunyi, menjauhkan segala permainan dan langkah-langkah mereka, dan 
menolak terhadap perbuatan dan perilaku mereka dsb. Dan Jihad terhadap mereka ini merupakan satu jenis dari 
Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. 
7. Jihaduz Zalimin
Yaitu Jihad terhadap orang-orang Fasik, Zalim, Ahli bid’ah dan pelaku kemungkaran. Dan Jihad terhadap 
mereka ini termasuk satu jenis Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.






Jihad dalam Perspektif Hukum Islam



Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah amal kebaikan yang Allah syari’atkan dan menjadi sebab kokoh dan kemuliaan umat islam. Sebaliknya (mendapatkan kehinaan) bila mereka meninggalkan jihad di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shohih :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud)

Ibnu Taimiyah menyatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa jihad dan melawan orang yang menyelisihi para rasul dan mengarahkan pedang syariat kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban disebabkan pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul dan untuk menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian orang-orang yang menyimpang menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama yang Allah perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri kepadaNya” 

Namun amal kebaikan ini harus memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam. Karena keduanya adalah syarat diterima satu amalan. Disamping juga jihad bukanlah perkara mudah bagi jiwa dan memiliki hubungan dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta yang menjadi perkara agung dalam Islam sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian diharamkan atas kalian (saling mendzoliminya) seperti kesucian hari ini, pada bulan ini dan di negeri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian, ketahuilah apakah aku telah menyampaikan? Mereka menjawab: Ya. Maka beliau pun berkata: Ya Allah persaksikanlah, maka hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku, sebagian kalian saling membunuh sebagian lainnya. (Muttafaqun ‘Alaihi) 

Demikian agungnya perkara jihad ini menuntut setiap muslim melakukannya untuk menggapai cinta dan keridhoan Allah. Tentu saja hal ini menuntut pelakunya untuk komitmen terhadap ketentuan dan batasan syari’at, komitmen terhadap batasan dan hukum Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, merealisasikan target dan tujuan syari’at tanpa meninggalkan satu ketentuan dan batasannya, agar selamat dari sikap ekstrim dan berlebihan sehingga jihadnya menjadi jihad syar’i diatas jalan yang lurus dan dia mendapatkan akibat dan pahala yang besar diakhirat nanti. Hal itu karena ia berjalan diatas cahaya ilahi, petunjuk dan ilmu dari Al Qur’an dan sunnah NabiNya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk belajar mengenai konsep Islam tentang jihad secara benar dan bertanya kepada para ulama pewaris nabi tentang hal-hal yang belum ia ketahui. Apalagi dalam permasalahan yang sangat penting dan berbahaya ini, dan di masa kaum muslimin tidak mengenal syari’atnya dengan benar. Sebab bisa jadi yang dianggap jihad syar’i sebenarnya adalah jihad bid’ah.

Pengertian Jihad dalam Pandangan Islam.
Kata Jihad berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad di jalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan untuk dzat Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Dibalik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar. 

Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) menyatakan: “Jihad dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad dijalan Allah, namun kata jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak terfahami kecuali untuk makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan hina” 

Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad dengan pernyataan: “Jihad artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah” 
Dan beliau juga menyatakan: “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” 

Tampaknya tiga pendapat diatas sepakat dalam mendefinisikan jihad menurut syariat Islam, hanya saja penggunaan lafadz jihad fi sabilillah dalam pernyataan para ulama biasanya digunakan untuk makna memerangi orang kafir. Oleh karena itu Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi terbaik dari jihad adalah definisi Ibnu Taimiyah diatas dan beliau menyatakan: Terfahami dari pernyataan Ibnu Taimiyah diatas bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah nama yang meliputi penggunaan semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan dan keyakinan (i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi dan menolak perbuatan, perkataan dan keyakinan yang Allah benci dan murkai. 

Jenis dan Tingkatan Jihad
Kata jihad bila didengar banyak orang maka konotasinya adalah jihad memerangi orang kafir. Padahal hal ini hanyalah salah satu dari bentuk dan jenis jihad karena pengertian jihad lebih umum dan lebih luas dari hal tersebut. Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya dengan menyatakan: Jihad memiliki empat martabat, yaitu jihad memerangi nafsu, jihad memerangi syetan, jihad memerangi orang kafir dan jihad memerangi orang munafik.   Namun dalam keterangan selanjutnya Ibnu Al Qoyyim menambah dengan jihad melawan pelaku kezaliman, bid’ah dan kemungkaran.
Kemudian beliau menjelaskan 13 martabat bagi jenis-jenis jihad diatas dengan menyatakan: Lalu jihad memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:
1.    Jihad memeranginya untuk belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2.    Jihad memeranginya untuk mengamalkannya setelah mengetahuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi manfaat.
3.    Jihad memeranginya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak menyelamatkannya dari adzab Allah.
4.    Jihad memeranginya untuk tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena Allah.
Apabila telah sempurna empat martabat ini maka ia termasuk Rabbaniyun. Hal ini karena para salaf sepakat menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Rabbani sampai mengenal kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Sehingga orang yang berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar di alam langit.

Adapun jihad memerangi syetan memiliki dua martabat:
1.    Memeranginya untuk menolak syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan tembakkan kepada hamba.
2.    Memeranginya untuk menolak keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama dilakukan dengan yakin dan kedua dengan kesabaran, Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah: 24)

Allah menjelaskan bahwa kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan kesabaran ia menolak syahwat dan keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak keraguan dan syubhat.
Sedangkan jihad memerangi orang kafir dan munafiqin, maka memiliki 4 martabat; dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.
Sedang jihad memerangi pelaku kedzoliman, kebidahan dan kemungkaran memiliki 3 martabat; pertama dengan tangan bila mampu, apabila tidak mampu, pindah dengan lisan, bila juga tidak mampu maka dengan hati.
Inilah tiga belas martabat jihad dan barang siapa yang meninggal dan belum berperang dan tidak pernah membisikkan jiwanya untuk berperang maka meninggal diatas satu cabang kemunafiqan.
Dari keterangan imam Ibnul Qayyim diatas dapat diambil beberapa pelajaran:
1.    Banyak kaum muslimin memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja, ini adalah pemahaman parsial.
2.    Sudah seharusnya seorang muslim memulai 
jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada Allah dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam dengan memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf sholeh. Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya, karena maksud tujuan ilmu adalah diamalkan. Setelah itu maka memerangi jiwa untuk berdakwah mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua gangguan dan rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Ketika jihad memerangi musuh Allah yang diluar (jiwa) adalah cabang dari jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaih wa sallam:
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi jiwanya dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan Allah.

Maka jihad memerangi jiwa didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang diluar (jiwa), dan menjadi induknya. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan serta belum memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang diluar. Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya padahal musuhnya yang disampingnya berkuasa dan menjajahnya serta belum ia jihadi dan perangi. Bahkan tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi musuhnya sebelum ia berjihad memerangi jiwanya untuk berangkat berjihad?”
Jihad memerangi jiwa hukumnya wajib atau fardhu 'ain tidak bisa diwakili orang lain, karena jihad ini berhubungan dengan pribadi setiap orang.
3.    Para ulama menjelaskan bahwa pintu syetan menggoda manusia ada dua yaitu Syahwat dan Syubhat. Syetan mendatangi manusia dan melihat apabila ia seorang yang lemah iman, dan sedikit ketaatannya kepada Allah, maka syetan menariknya melalui jalan atau pintu syahwat. Dan bila syetan mendapatinya sangat komitmen dengan agamanya dan kuat imannya maka dia akan menariknya dari pintu syubhat, keraguan dan menjerumuskannya kepada kebid’ahan.
Jihad melawan syetan ini hukumnya fardhu 'ain juga karena berhubungan langsung dengan setiap peribadi manusia, sebagaimana firman Allah:



إِنَّ الشَّ



MATI SYAHID, SYARAT DAN PENGHALANGNYA



Dr. Fathul Bari Mat Jahya
1270025961-EBENPCCSyahid adalah anugerah dan kemuliaan yang besar daripada Allah kepada hambaNya. Tiada apa yang dapat menghalang orang yang Syahid dari masuk syurga seperti mana sabda Nabi SAW, “Yang terbunuh di jalan Allah akan dihapus semua dosanya kecuali hutang.” (Riwayat Muslim).
Sabda Baginda lagi, “Allah menjamin bagi orang yang berperang di jalanNya; dia tidak keluar kecuali untuk jihad di jalanKu dan dia beriman kepadaKu dan membenarkan para rasulKu, maka Aku menjamin akan memasukkannya ke dalam syurga atau mengembalikannya pulang ke rumahnya dengan pahala dan harta rampasan perang.” (Bukhari dan Muslim)
Walau bagaimanapun setiap amal datang bersama syarat-syarat dan pembatalnya. Seperti mana orang yang solat tetapi tidak memenuhi syarat solat seperti wuduk, mengadap kiblat dan selainnya dia tidak mendapat ganjaran orang yang solat, maka begitu halnya dengan jihad. Seorang yang berjihad lalu mati tetapi tidak memenuhi syarat jihad maka dia terhalang dari mendapat kemuliaan Syahid. Oleh itu Islam menekankan ‘ilmu sebelum amal’ supaya amal yang dilakukan tidak sia-sia.
Antara syarat utama Syahid adalah iman kepada Allah dan RasulNya dengan sebenar-benar iman dan menjauhi segala kesyirikan yang menjadi sebab batalnya seluruh amal. Firman Allah, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan amal soleh dan janganlah dia menyekutukan apapun dalam ibadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahf: 110)
Seorang yang mati berperang tetapi ketika hidupnya tidak mentauhidkan Allah (yakni mensyirikkan Allah), percaya kepada benda-benda khurafat, sihir, memakai tangkal sudah tentu tidak mendapat keutamaan ini karena syirik adalah dosa yang dijamin tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan bertaubat dan kembali mentauhidkan Allah.
Adapun penghalang-penghalang dari mendapat syahid antaranya adalah seperti berikut;
Pertama, keluar berjihad tanpa kebenaran pemerintah Muslim. Sesuatu urusan penting yang melibatkan umat (termasuk jihad) keputusannya terletak di tangan pemerintah Islam. Ia bukan sesuatu yang boleh diputuskan oleh sesiapa saja. Sabda Nabi SAW, “Imam adalah perisai, kaum muslimin berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Jika dia memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah SWT dan berlaku adil, maka dia mendapat pahala kerana itu. Tetapi jika dia memerintahkan berbuat maksiat, maka dia memperoleh dosanya.” (Riwayat Muslim)
Imam Al-Nawawi menjelaskan, “(Imam adalah perisai) seolah-olah dirinya adalah tabir kerana dirinya menghalang musuh untuk tidak menyakiti kaum Muslimin dan mencegah kaum Muslimin agar tidak saling menyakiti dan melindungi negeri islam. Manusia berlindung kepadanya dan takut dengan hukumannya. Dan makna (berperang di belakangnya) adalah kaum muslimin berperang bersamanya menghadapi kuffar, pemberontak, Khawarij dan seluruh golongan yang berbuat kerosakan dan kezaliman.” (Syarah Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan, “Seorang Imam melindungi kaum Muslimin dari musuh dan mencegah terjadinya penganiayaan sesama kaum Muslimin. Dan yang dimaksud dengan imam adalah mereka yang menangani urusan kaum muslimin.” (Fathulbari)
Ibnu Taimiyah berkata, “Jihad hanya diseru oleh pemerintah yang mengurus urusan kaum Muslimin.” (Minhaj Al-Sunnah). Oleh itu, pemerintahlah yang layak menyeru kepada jihad, bukan ketua mana-mana kumpulan yang sebarangan, atau mana-mana individu.
Kedua: Memerangi orang yang tidak boleh diperangi. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang ada perjanjian), maka dia tidak akan mencium bau syurga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” ( Al-Bukhari)
Ketiga: Berjihad di bawah panji buta. Sabda Nabi: “Barangsiapa yang berperang dibawah panji yang tidak jelas, marah karena fanatisme kelompok atau mengajak kepada kelompok atau menolong karena kelompok lalu terbunuh maka dia terbunuh seperti terbunuhnya orang jahiliah. Siapa yang memberontak dari umatku, membunuh yang baik dan yang fajir dan tidak mempedulikan kemukminannya serta tidak menunaikan janjinya kepada orang yang dijanjikan maka dia bukan dariku dan aku berlepas diri darinya.” (Riwayat Muslim)
Keempat: Berperang dengan tujuan mati syahid. Syaikh Muhammad Bazmul berkata: “Adalah tidak benar bagi orang yang keluar berjihad dengan tujuan mendapatkan syahid (keluar berjihad untuk mati). Sebaliknya hendaklah dia keluar dengan tujuan untuk meninggikan kalimah Allah (yakni untuk menang) dan jika dia mendapat syahid itu adalah kemuliaan dari Allah untuknya. Dan jika dia tidak mendapat syahid, dia pulang dengan pahala dan harta rampasan. Sebahagian orang ingin membunuh dirinya tetapi mereka tahu bahawa membunuh diri tidak dibenarkan. Maka dia keluar berperang dan dia mahu dibunuh. Dia menyangka dengan cara ini dia akan mendapat ganjaran syahid. Renungkan hadis Nabi SAW:
“Allah menjamin bagi orang yang keluar di jalanNya; tidaklah dia keluar kecuali kerana ingin berjihad di jalanKu, dan dia beriman kepadaKu dan membenarkan para rasulKu, maka Aku menjamin akan memasukkannya ke dalam syurga atau mengembalikannya ke rumahnya dengan membawa kemenangan berupa pahala dan harta rampasan perang.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Jika keluar berperang dengan niat ingin mati dan menjadi syahid itu disyariatkan, mengapa tidak Rasulullah SAW melakukannya? Mengapa Baginda dan para sahabat memakai baju besi? Mengapa kita diperintahkan untuk membuat persiapan? Dan di manakah niat jihad iaitu untuk meninggikan kalimah Allah? Jika semua tentera Islam pergi berjihad untuk mati, maka Islam akan kalah dan kalimah Allah tidak akan ditinggikan. Maka umat Islam harus memerhatikan hal ini kerana ia berkait dengan masalah hati, dan ini adalah satu cara bagaimana Syaitan boleh merosakkan amal kebaikan seorang Muslim iaitu dengan merosakkan niatnya.
Kelima: Berperang tanpa izin orang tua. Ini berdasarkan hadis seseorang lelaki bertemu Rasulullah SAW meminta izin ikut berjihad. Baginda bertanya: “Adakah kedua orang tuamu masih hidup?.” Dia menjawab: Ya. Baginda bersabda: “Jika begitu, berjihadlah untuk kedua orang tuamu.” (Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain ada tambahan, Baginda bersabda: “Pulanglah dan mintalah izin kepada mereka. Jika mereka izinkan maka berjihadlah. Jika tidak, berbaktilah kepada mereka berdua.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
LARANGAN MENGATAKAN SI FULAN SYAHID
Adapun menghukum secara khusus bahawa seseorang itu syahid, ini tidak dibolehkan kecuali dengan persaksian Nabi SAW (melalui wahyu). Imam Al-Bukhari meletakkan satu bab dalam Sahihnya: “Bab Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid”. Ini kerana antara syarat syahid adalah berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi dan ini adalah urusan niat yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh itu Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalanNya.” (Bukhari)
Namun orang yang secara zahirnya baik, mentauhidkan Allah ketika hidupnya, kita mendoakan dia syahid. Kita tidak menghukumnya syahid dan kita tidak berburuk sangka kepadanya. Kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid jika dia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Dia dikubur dengan darah di bajunya tanpa mensolatinya. Dan untuk syuhada yang lain, dimandikan, dikafani dan disolati.



Ketika Malaikat Ikut Berperang Bersama Mujahidin Melawan Tentara Bashar Assad 

ADA kisah menarik dari relawan Hilal Ahmar Society Indonesia (hasi) yang baru saja berkunjung ke Suriah dan melakukan presentasi di gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Selasa (11/12/2012). Abu Yahya, koordinator relawan hasi menceritakan kisah seorang mantan tentara Bashar Assad yang taubat lalu bergabung dengan mujahidin.

Kepada mantan tentara itu, para mujahidin sempat bertanya kenapa para tentara Assad yang berjumlah 1500 personil di Jabal Akhrod tidak berani melakukan serangan ke mujahidin Suriah yang hanya berjumlah 150 personel, padahal baik secara kekuatan (jumlah) dan persenjataan, mujahidin jauh kalah dari tentara Assad.

Mendengar pertanyaan itu, mantan tentara Bashar Assad ini justru heran dan balik bertanya. "Siapa bilang jumlah kalian sedikit? Kami setiap malam melihat kalian dengan pakaian putih-putih bergerak dari satu lembah ke lembah lain sehingga kami pikir-pikir dulu untuk menyerang, "kenangnya. Ternyata kisah di atas bukan terjadi satu kali.

Cerita lainnya muncul saat mujahidin hendak melakukan perang dengan konvoi 50 truk yang berisi tentara Bashar Assad. Sampai pada satu titik terjadilah baku tembak antara mujahidin dengan tentara Assad. Karena mujahidin memang sudah merencanakan aksi serangan untuk menghabisi dan memukul mundur tentara Bashar Assad.

Namun saat perang berlangsung, tiba-tiba saja muncul kejadian di luar perkiraan mereka. Helikopter dan pesawat tempur datang seperti hendak memerangi mujahidin. Tentu mujahidin berkesimpulan bahwa ini bantuan dari pihak Bashar Assad untuk mengalahkan mereka.Ingat, sampai kini mujahidin Suriah sama sekali tidak memiliki alat tempur seperti pesawat.

Mereka bertempur hanya via jalur darat dengan persenjataan yang kalah canggih dibandingkan milik rezim Assad. Mengukur jumlah personel dan persenjataan yang terbatas, komando mujahidin menyerukan untuk segera mengosongkan tempat pertempuran dan masuk ke gunung-gunung untuk mengatur strategi.

Anehnya, ketika mujahidin sudah menarik diri, suara baku tembak masih saja terus terjadi. Berondongan dan desingan peluru seperti enggan berhenti meskipun tidak ada satu mujahidin pun tersisa di lokasi pertempuran. Komando mujahidin sampai bertanya-tanya dalam hati, siapakah sebenarnya yang sedang berperang melawan tentara Bashar Assad.

Ia pun mengecek jumlah personel untuk mengantisipasi ada mujahidin tertinggal dan melakukan perlawanan pada tentara Assad. Namun hasil perhitungannya, seluruh mujahidin sudah masuk ke dalam gunung. Hingga datang matahari terbit dan mereka yakin kondisi telah aman, barisan mujahidin turun ke gunung-gunung dan betapa terkejutnya mereka melihat sebagian tentara Assad telah tewas dengan luka menganga.

Sebagian lainnya mengalami luka berat layaknya menghadapi pertempuran hebat. Tentu kejadian ini menjadi seribu tanya untuk Abu Yahya, relawan hasi yang menghabiskan waktu selama satu bulan di Desa Salma, daerah Jabal Akhrod, Suriah dan mendapatkan kisah ini langsung dari mujahidin. "Lantas siapa yang berada di dalam pesawat dan helikopter untuk melawan tentara Suriah? "tutup Abu Yahya dengan segudang tanya di depan para awak media yang juga diliputi keheranan.

Subhanallah, inilah ayaturrahman yang muncul dalam Jihad di bumi Syam. Fakta yang menjadi bukti bahwa mujahidin tidak sendiri.Mereka bersama Allah untuk berperang menegakkan Islam di Suriah dan melawan kezhaliman Rezim Syiah Nushairiyyah kepada umat Islam.

Semoga ini menjadi kabar baik bagi kemenangan mujahidin dan tegaknya Islam di Suriah. Tentu jika kita mendengar penuturan dari mujahidin, kita akan sangat faham siapakah balatentara yang tiba-tiba datang membantu para mujahidi melawan tentara Assad. "(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut ". (QS Al-Anfal 10)

sumber: Islam Pos




dikatakan dlm al quran wajib puasa surah albaqoroh ayat183
maka org bilang oh bolehh karenna itu wajib

jika dikatakan diwajibkan qisas surat al baqoroh ayat178
maka oreg bilang itu melanggar HAM

jika dikatakan diwajib qital ato perang
maka org bilang jangan itu menyalahi aturan sesama ber agama

jawabannya surat an nisa" 150 yang berbunyi
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), maka benar benar kafir org yang melaksanakan islam setengah setengah
inilah realita yang terjadi di zaman ini

trutama orang 2 yang setia pada NKRI ( negara kafir republik indonesia)



Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Terroris seolah-olah momok yang sangat menakutkan, bagaikan monster yang mejelma di abad ini. Walah,... gawatnya lagi cap terroris sering di tunjukan kepada para pejuang yang menentang para penjajah di abad ini. Bahkan lebih tragisnya lagi sebutan terroris di labelkan kepada kaum muslimin yang sedang membela hak-haknya.
Siapapun kita, di sadari ataupun tidak, pernah membuat orang lain khawatir dan merasa takut terhadap apa yang kita lakukan, sengaja atau tidak kita telah membuat 'terror' dalam arti kata secara umum. Dan arti kata terroris sendiri belum ada satu kesamaan pemahaman dalam pendefinisiannya, tapi secara umum dapat kita fahami bahwa terroris itu, orang yang membuat takut atau gentar orang lain. Pada suatu peperangan antara satu dengan yang lainya saling berusaha untuk membuat gentar atau membuat rasa takut kepada musuhnya, mereka berusaha dengan segenap kemampuannya mengatur strategi and taktik untuk membuat terror pada musuh-musuhnya. Sesunggunya kemenangan dalam peperangan itu bukanlah hancurnya semua perlengkapan perang musuh akan tetapi hancurnya mental juang atau keberanian dari para musuhnya.
Kepada siapapun kita tunjuk hidung terroris, ini di pengaruhi di barisan mana kita berdiri...??


Suatu bahan renungan kita benarkah dalam ajaran Islam mengajarkan tentang terror?? Hal ini tergantung dari subyek dan obyeknya dan tergantung dari realita, membahas masalah perang dan perangkatnya tidak bisa dari hanya tumpukan kitab. Bagi kaum penjajah (kafir) mengangkangi negeri-negeri Muslim sekaligus menodai tanah-tanah suci kaum Muslimin bukanlah tindakan terroris. begitu pula menyembelih orang-orang tua yang tak berdosa, memperkosa kaum muslimah, membantai anak-anak kecil, menghujani mereka dengan bom dari pesawat-pesawat tempur, membantai mereka dengan roket balistik, menghancurkan rumah-rumah, perkampungan kaum muslimin dan mesjid-mesjid menurut kaum kafir penjajah tidak disebut terroris. Sebaliknya pembelaan diri demi mempertahankan kemuliaan dien ini, demi menjaga darah, kehormatan dan hargadiri adalah sebagai kegiatan biadab, perbuatan "terror",...! Akhirnya, betapa banyak kaum muslimin begitu mudah menerima konsep 'terror' dari kaum penjajah kafirin, yang pada akhirnya mereka sanggup berkerjasama dengan musuh-musuh mereka dalam mengangkangi negeri-negeri kaum muslimin, bahkan sambil tersenyum sekalipun dan dengan menggukan bahasa diplomasi dengan kalimat-kalimat munafiq..! Sedangkan menurut konsep islam 'terroris' adalah kewajiban Rabbaniyah, tindakan ini semata-mata di tunjukan kepada musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin. dan islam tidak melegitimasi pembunuhan terhadap kaum tua, wanita, dan anak-anak yang sama sekali tidak terlibat dalam urusan perang.


Dalam ayat al-quran di bawah ini, Allah menggunakan lafaz: "Turhibuuna bihii"(yang dengan persiapan itu kamu menggentarkan...), Firman Allah : "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang di tambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu), kamu menggentarkan musuh Allah. musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya(dirugikan)" (al-quran Al-Anfal : 60).
Sedangkan dalam ayat berikut Allah menggunakan lafaz: "Ruhbatan". " Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti dari pada Allah yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti" (al-Hasr:13).
Karena terror di syari'atkan dalam islam, dimana terror itu sendiri ditujukan kepada musuh-musuh Allah dan kaum muslimin merupakan suatu faridhah(kewajiban) yang sangat tinggi dalam islam, sebagaimana firman Allah:"(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya..."


Kaum muslimin di perintahkan untuk memproduksi segala jenis senjata yang dengannya menimbulkan terror(kegentaran) pada musuh-musuh Allah dan musuh kaum muslimin. Hal ini tentunya berbeda sepanjang zaman dalam artian bentuk dan jenisnya, sesuai dengan daya kekuatan yang di pakai dari waktu kewaktu. Dan Allah telah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan hal tersebut dan membantunya dengan harta karena di akhir ayat ini, Allah menyebutkan "Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)". Maka jadilah terroris yang menerror orang-orang kafir dengan harta dan jiwa kita, sekalipun orang-orang kafir itu membenci dan para pengganggu perang membisikan kalimat rusaknya, dan sekalipun orang-orang munafiq merasa rendah diri dengan kewajiban ini. Senangilah dengan julukan sebagai terroris, apabila yang dimaksud mereka adalah para pejuang kebenaran ini. Sesungguhnya hidup ini adalah ujian, sekalipun fitnah itu pahit terasa, ikhlas dan i'tiba akan membuat kita bagaimana merasakan kelezatan nikamatnya iman. Wallahu'alam...
Wassalamu'alaikum...
dikutip dari diary sang teroris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar