Senin, 29 April 2013

Sosialisasi: Apa itu Demokrasi dan Apa Pula Musyawarah?

Tahun 2014 negara kita akan menyelenggarakan Pilpres dan di lingkungan tempat tinggal kita mungkin juga diadakan pemilihan Ketua RT dan Ketua RW jadi ada baiknya kita mengenal lebih baik tentang Demokrasi dan Musyawarah.



Ajaran Islam tentang Musyawarah (Syura)

Sebagian kaum muslimin mengidentikkan antara syura & demokrasi, menganggap sama antara keduanya, atau minimal membenarkan demokrasi karena musyawarah/syura juga diakui dlm sistem demokrasi. Artikel ini berusaha memaparkan syura secara ringkas & nantinya akan berujung pada pemaparan sisi-sisi perbedaan antara syura & demokrasi yang merupakan produk sekulerisme.

Definisi Syura

Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan & memaparkan sesuatu atau meng ambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226].
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dgn saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].
Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dgn berkumpul utk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].
Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dlm suatu permasalahan utk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam & disertai sisi argumentatif dlm suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas & berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat & terbaik utk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].

Pensyari’atan Syura dlm Islam

Islam telah menuntunkan umatnya utk bermusyawarah, baik itu di dlm kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat & bernegara.
Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah & Abu Jahm berkeinginan utk melamarnya [HR. Muslim : 1480].
Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dlm surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dgn kerelaan keduanya & permusyawaratan, maka tak ada dosa atas keduanya. & jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah & ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dgn kerelaan keduanya & permusyawaratan, maka tak ada dosa atas keduanya” adalah  apabila kedua orangtua sepakat utk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, & keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah & sepakat melakukannya, maka tak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih utk melakukannya tanpa bermusyawarah dgn yang lain [Tafsir al-Quran al-’Azhim 1/635].
Dalam kehidupan bermasyarakat & bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis & para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam utk bermusyawarah dgn para sahabatnya dlm setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, & bermusyawaratlah dgn mereka dlm urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].
Di dlm ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya & mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dgn musyawarat antara mereka; & mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dgn musyawarat antara mereka” adalah mereka tak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dgn pendapat mereka seperti dlm masalah peperangan & semisalnya [Tafsir al-Quran al-’Azhim 7/211].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dlm agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin & penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah utk mempersatukan hati para sahabatnya, & dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dlm permasalahan yang di dalamnya tak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dgn peperangan, permasalahan parsial, & selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut utk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan utk senantiasa bermusyawarah dgn para sahabatnya dlm berbagai urusan terutama urusan yang terkait dgn kepentingan orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dgn para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah utk menentukan lokasi berkemah & beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan utk berkemah di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan utk keluar Madinah menghadapi musuh & beliau pun menyetujuinya.
Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali & Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dgn para sahabatnya baik dlm masalah perang maupun yang lain.

Urgensi & Faedah Syura

Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dlm syari’at & ketentuan hukum dlm Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dlm mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dgn orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura sebagai  salah satu nama surat dlm al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup utk menunjukkan betapa syura memiliki kedudukan yang penting dlm agama ini.
Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) [Al Aqd al-Farid hlm. 43].
  1. Urgensi & faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dlm Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) & juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau & kerelaan mereka dlm menaati beliau. Jika beliau tak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.
  2. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dlm benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan & tak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ أَمَرِهِمْ “Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dlm permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].
  3. Al Hasan & Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan utk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain & agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”
  4. Syura memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal & pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta utk mengetahui seberapa besar kecintaan & keikhlasan mereka dlm menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dlm keutamaan.

Dua Belas Perbedaan antara Syura & Demokrasi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha utk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura & demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dlm Islam & merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah al-Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup & kumpulan ketentuan utk seluruh konstitusi, undang-undang, & sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat [Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi]. Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dgn demokrasi itu sendiri.
Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura dgn sistem demokrasi terangkum ke dlm poin-poin berikut :
a.        Umat (rakyat) dlm suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran utk hidup bersama, & diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras & bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm. 489].
Sedangkan dlm sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dgn apa yang disebutkan sebelumnya, karena dlm mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, & bahasa. Namun, umat dlm Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, & bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dlm hal ras, bahasa, & wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dlm pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
b.        Sistem demokrasi hanya berusaha utk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, & militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah.
Berbeda tentunya dgn sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar & tujuan dlm sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan & kemaslahatan manusia yang terkait dgn dunia mereka ikut beriringan di belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
c.         Di dlm sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun & diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dgn keinginan & tujuan masyarakat dapat disusun & diterapkan.
Berbeda halnya dgn sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dgn hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dlm al-Quran & lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dlm permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dgn hukum-hukum politik yang sesuai dgn syari’at [An Nazhariyaat as-Siyaasiyah al-Islamiyah hlm. 338].
d.        Kewenangan majelis syura dlm Islam terikat dgn nash-nash syari’at & ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura terbatas pada permasalahan yang tak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas & dgn indikasi hukum yang jelas, maka syura tak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dlm menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dlm suatu permasalahan tak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas & berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tak memerlukan musyawarah [Fath al-Baari 3/3291].
Adapun dlm demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
e.        Syura yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dgn nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap & tak tunduk terhadap berbagai perubahan kepentingan & tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas & tujuan umat.
Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan & tujuan yang diinginkan oleh mayoritas [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
f.          Demokrasi memiliki kaitan erat dgn eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tak sejalan dgn ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan & bergolong-golongan.
g.        Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap & tak boleh dilanggar oleh majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.
Adapun demokrasi tak mengenal & mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dlm sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi & menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dgn slogan hukum mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm. 12].
h.        Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dlm suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dlm menghalalkan & mengharamkan. Adapun di dlm sistem syura, rakyat tunduk & taat kepada Allah & rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32].
i.          Syura bertujuan utk menghasilkan solusi yang selaras dgn al-haq meski bertentangan dgn suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32].
j.          Kriteria ahli syura sangatlah berbeda dgn kriteria para konstituen & anggota parlemen yang ada dlm sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura, beliau mengatakan, “Pertama, memiliki akal yang sempurna & berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama & bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang member nasehat & penyayang, tak dengki & iri, & jauhilah bermusyawarah dgn wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan &  kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tak memiliki tendensi pribadi & dikendalikan oleh hawa nafsu dlm membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi I’dad al-’Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umam hlm. 33].
Adapun dlm sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dlm mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti & tak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau utk bermusyawarah dgn mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat & berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dlm sabdanya,
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
“Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” [HR. Muslim: 974].
Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tak berusaha menahan diri dari kemungkaran, & juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at & undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam [’Umdat at-Tafsir 1/383-384].
k.         Ahli syura mengedepankan musyawarah & nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib utk menaatinya dlm permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan & memberhentikan majelis syura bergantung pada maslahat yang dipandangnya [Al ‘Umdah fi I’dad al-’Uddah 112].
Sedangkan dlm demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati & parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin & menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.
l.          Apabila terdapat nash syar’i dari al-Quran & hadits, maka ahli syura wajib berpegang dengannya & mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.
Al Bukhari berkata dlm Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dgn orang-orang berilmu yang amanah dlm permasalahan yang mubah agar mampu menemukan solusi yang termudah. Apabila al-Quran & hadits telah jelas menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tak berpaling kepada selainnya dlm rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan utk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan utk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah & harta mereka telah terjaga kecuali dgn alasan yang hak & kelak perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.
Abu Bakr tak lagi butuh pada musyawarah dlm permasalahan di atas, karena beliau telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat & zakat serta berkeinginan merubah aturan & hukum dlm agama [Shahih al-Bukhari 9/112; Asy-Syamilah].
Adapun di dlm demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dlm agama Islam seperti penghalalan riba, zina, & berbagai hukum yang tak sejalan dgn apa yang diturunkan Allah ta’ala.
Kesimpulannya adalah tak ada celah utk menyamakan antara sistem yang dibentuk & diridhai Allah utk seluruh hamba-Nya dgn sebuah sistem dari manusia yang datang utk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, & berusaha utk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Gharbiyyah hlm. 32].
Meskipun ada persamaan antara syura & demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tak lepas dari kekurangan.
Wallahu al-Muwaffiq.
Sumber rujukan :
Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah wa ‘inda Ulama al-Muslimin karya Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih
Asy Syura fi Dhlaui al-Quran wa as-Sunnah karya Prof. Dr. Hasan Dhliya ad-Din Muhammad ‘Atr
Fitnah ad-Dimuqratiyah karya al-Imam Ahmad Walad al-Kiwari al-’Alawi asy-Syinqithi
Makalah Nazharat Mu’ashirah fi Fiqh asy-Syura karya Prof. Dr. Ahmad ‘Ali al-Imam
Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
sumber: www.muslim.or.id


Ihsan S. Ishaq - kumpulan tulisan agar kita paham perbedaan Musyawarah dan Demokrasi

Demokrasi tidak identik dengan musyawarah dalam Islam. Dan keduanya tidak akan bertemu, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Demokrasi bukan berasal dari ajaran Islam, sedangkan musyawarah dalam Islam, Allah sendiri yang memerintahkan, (Asy-Syura : 36), (Ali Imran : 159). Keduanya tidak akan bertemu, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  2. Musyawarah dalam Islam berkaitan besar dengan siasat/politik umat yang hanya diikuti oleh ahlul halli wal’aqdi (yaitu para ulama), orang-orang saleh lagi ikhlas. Adapun demokrasi diikuti oleh segala lapisan dan golongan termasuk di dalamnya orang kafir, penjahat, orang jahil, pria maupun wanita.
  3. Musyawarah dalam Islam hanya pada beberapa permasalahan yang tidak perlu diatur oleh hukum Allah. Adapun demokrasi meletakkan asas-asas untuk menentang hukum Allah.
  4. Musyawarah dalam Islam bukan merupakan kewajiban dalam tiap waktu, tetapi tergantung  situasi dan kondisi, oleh karena itu Rasulullah saw terkadang bermusyawarah dengan para sahabat di beberapa peperangan dan terkadang tidak bermusyawarah. Adapun demokrasi adalah wajib bagi penganutnya, tidak boleh menyusun, meletakkan dan melaksanakan sesuatu kecuali setelah melalui proses demokrasi.
  5. Demokrasi menolak mentah-mentah syariat Islam dengan tuduhan tidak mampu memecahkan problem-problem kehidupan sekarang ini dan tidak layak diterapkan di abad ini. Adapun musyawarah justru ditetapkan sesuai dengan syariat Islam.
  6. Musyawarah dalam Islam lahir seiring dengan datangnya Islam sedangkan sistem demokrasi baru lahir abad 18 atau 19. Maka apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw itu seorang demokrat? Jawabannya adalah tidak sama sekali.
  7. Demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat, sedangkan dalam musyawarah tidakada penciptaan hukum baru, akan tetapi bentuknya adalah tolong menolong dalam memahami al Haq dan melaksanakannya.


Demikianlah beberapa hal yang membedakan antara demokrasi dengan musyawarah dalam Islam.


Banyak orang yang salah paham dalam menafsirkan ayat-ayat musyawarah di dalam Al-Qur’an yaitu ayat,

”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (Asy-Syura : 36)

”Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran : 159)

Sebagian orang jahil menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai dalil pengesahan demokrasi! Tentu saja hal ini adalah sebuah kebathilan yang nyata. Telah disebutkan pada pembahasan di atas sepuluh perbedaan antara demokrasi dengan musyawarah.

Di lain pihak ada juga sebagian orang yang menolak konsep demokrasi akan tetapi jatuh ke dalam kubangan demokrasi tanpa mereka sadari. Mereka menjadikan musyawarah ini sebagai ajang tukar pendapat yang diikuti seluruh umat, yaitu mereka melibatkan seluruh umat dan sebagainya. Dan lebih bodoh lagi adalah semua permasalahan mereka putuskan melalui musyawarah, walaupun sudah ada dalil yang jelas dan gamblang dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijma’.

Kekeliruan ini terjadi karena mereka tidak mengetahui konsep musyawarah yang Islami, akibatnya mereka menerapkan musyawarah ini seperti konsep demokrasi, dimana keputusan ditentukan dengan suara terbanyak atau dengan kemufakatan /kesepakatan di antara mereka tanpa menghiraukan apakah sesuai dengan syariat atau tidak. Hal seperti ini wajar sebab pesertanya adalah orang-orang yang jahil tentang syariat dan landasannya juga bukan syariat, tetapi kepentingan dan kehendak umum. Demikian halnya demokrasi dengan segala macam versinya.



Untuk diketahui sebagai dasar memahami tulisan di atas

Pengertian demokrasi
Demokrasi adalah hukum/pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, yaitu rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan. Yang pertama sekali menggunakan istilah demokrasi ini adalah Plato. Ditegaskan bahwa sumber kebijaksanaan dalam demokrasi ini adalah kesepakatan umum dan kemauan rakyat.

Sejarah perkembangan demokrasi
Seiring dengan bergolaknya Revolusi Perancis dengan slogan Kebebasan, Persaudaraan dan Persamaan, maka Negara Perancis pun secara resmi memasukkan demokrasi dalam undang-undang mereka dengan label hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1791. Disebutkan dalam pasal tiga : rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, dan hukum itu hanya diambil dari mereka.
Ini adalah penegasan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat yang tidak dapat dipenggal-penggal lagi serta tanpa kompromi dan tidak akan diubah-udah. Kemudian tatkala Perancis meluaskan kekuasaan dan pengaruhnya, diantaranya adalah pada negara-negara arab  seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko dan negeri-negeri muslim lainnya, maka secara bersamaan masuklah sistem demokrasi tersebut ke negeri-negeri jajahan itu.
Asas-asas demokrasi
Demokrasi ditegakkan di atas tiga azas:

  1. Penetapan undang-undang /hukum, yaitu tidak akan ditetapkan sebuah hukum atau undang-undang kecuali melalui saluran demokrasi. Tidak ada tempat lagi bagi lainnya untuk menetapkan undang-undang. Termasuk Allah Hakim Yang Maha Adil dan Yang Maha Pengasih sekalipun tidak ada hak untuk menetapkan undang-undang ini.
  2. Keputusan undang-undang /hukum, yaitu tidak diperbolehkan bagi hakim untuk memutuskan hukum kecuali dengan undang-undang tersebut.
  3. Pelaksanaan undang-undang/ hukum, yaitu tidak ada pelaksanaan hukum kecuali sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang, maksudnya adalah membekukan hukum-hukum lainnya termasuk hukum syariat.


Terima kasih kepada penulis pertama tulisan ini dan mereka yang menyebarkannya agar umat Islam senantiasa menjalankan sesuatu dengan pemahaman yang benar sebelumnya.


Dalil Pendukung Perbedaan Musyawarah dan Demokrasi

Syura dalam Pandangan Islam dan Demokrasi

Sebagian kaum muslimin mengidentikkan antara syura dan demokrasi, menganggap sama antara keduanya, atau minimal membenarkan demokrasi karena musyawarah/syura juga diakui dalam sistem demokrasi. Artikel ini berusaha memaparkan syura secara ringkas dan nantinya akan berujung pada pemaparan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi yang merupakan produk sekulerisme.
Definisi Syura
Menurut bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu [Mu'jam Maqayis al-Lughah 3/226].
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura, diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].
Ibnu al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat (dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang dimiliki [Ahkam al-Quran1/297].
Sedangkan definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami hlm. 14].
Dari berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan[Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].
Pensyari’atan Syura dalam Islam
Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].
Dalam kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233, dimana Allah berfirman,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-'Azhim 1/635].
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali 'Imran : 159].
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy Syura : 36-39].
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir al-Quran al-'Azhim 7/211].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar'iyah hlm. 126].
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang terkait dengan kepentingan orang banyak.
Beliau pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.
Dalam masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallammeminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Demikianlan, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya baik dalam masalah perang maupun yang lain.
Urgensi dan Faedah Syura
Ibnu ‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan ketentuan hukum dalam Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh beliau mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun telah menjadikan syura sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran al-Karim. Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura memiliki kedudukan yang penting dalam agama ini.
Amir al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil) [Al Aqd al-Farid hlm. 43].
Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr ad-Din ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :
a.  Musyawarah yang dilakukan nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka.
b. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,
مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هُدُوا لِأَرْشَدِ أَمَرِهِمْ
Setiap kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi Syaibah 1/149].
c.  Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya”
d.  Syura memberitahukan kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.
12  Perbedaan antara Syura dan Demokrasi
Telah disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi perbedaan antara syura dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat syura berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah al-Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses pengambilan pendapat [Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi]. Dengan demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.
Perbedaan antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :
a.  Umat (rakyat) dalam suatu sistem demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm. 489].
Sedangkan dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa. Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras, bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
b.  Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah memperhatikan aspek ruhiyah.
Berbeda tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut beriringan di belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
c. Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan keinginan dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam al-Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at [An Nazhariyaat as-Siyaasiyah al-Islamiyah hlm. 338].
d. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah). Syura terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
Ibnu Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak. Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan musyawarah [Fath al-Baari 3/3291].
Adapun dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan perubahan [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
e. Syura yang berlandaskan Islam senantiasa terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat.
Di sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh mayoritas [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
f. Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
g. Syari’at Islam telah menggariskan batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.
Adapun demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm. 12].
h. Demokrasi menganggap rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura, rakyat tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm. 32].
i. Syura bertujuan untuk menghasilkan solusi yang selaras dengan al-haq meski bertentangan dengan suara mayoritas, sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm ad-Dimuqratiyah hlm. 32].
j. Kriteria ahli syura sangatlah berbeda dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura, beliau mengatakan, “Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga, memiliki karakter senang memberi nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri, dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al 'Umdah fi I'dad al-'Uddah hlm. 116;Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umamhlm. 33].
Adapun dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik, ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya,
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
Hendaklah yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta berakal” [HR. Muslim: 974].
Mereka bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah, tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka boleh menghancurkan syari’at Islam ['Umdat at-Tafsir 1/383-384].
k. Ahli syura mengedepankan musyawarah dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura bergantung pada maslahat yang dipandangnya [Al 'Umdah fi I'dad al-'Uddah 112].
Sedangkan dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang kredibel dari pemerintahan.
l.  Apabila terdapat nash syar’i dari al-Quran dan hadits, maka ahli syura wajib berpegang dengannya dan mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.
Al Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang amanah dalam permasalahan yang mubah agar mampu menemukan solusi yang termudah. Apabila al-Quran dan hadits telah jelas menerangkan suatu permasalahan, maka mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.
Abu Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena beliau telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan antara shalat dan zakat serta berkeinginan merubah aturan dan hukum dalam agama [Shahih al-Bukhari 9/112; Asy-Syamilah].
Adapun di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (atheisme). Oleh karenanya, demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak sejalan dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala.
Kesimpulannya adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang datang untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang membutuhkan solusi [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Gharbiyyah hlm. 32].
Meskipun ada persamaan antara syura dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura adalah sebuah metode yang berasal dari Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.
Wallahu al-Muwaffiq.
Sumber rujukan :
  1. Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah wa ‘inda Ulama al-Muslimin karya Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih
  2. Asy Syura fi Dhlaui al-Quran wa as-Sunnah karya Prof. Dr. Hasan Dhliya ad-Din Muhammad ‘Atr
  3. Fitnah ad-Dimuqratiyah karya al-Imam Ahmad Walad al-Kiwari al-’Alawi asy-Syinqithi
  4. Makalah Nazharat Mu’ashirah fi Fiqh asy-Syura karya Prof. Dr. Ahmad ‘Ali al-Imam
  5. Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi
Sumber: www.muslim.or.id


Syaikh Abubakar Ba'asyir dan Musyawarah dalam ISLAM.

Sudah sejak peristiwa 1 Juni 2008 yang lalu yang lebih dikenal dengan "Peristiwa MONAS" maka saya tidak pernah lagi berkumpul dengan aktifis pergerakan ISLAM. Pertama, karena sejak Agustus 2008 saya pergi meninggalkan Indonesia untuk belajar dakwah cara Rasulullah Shalallahu'alaihi wasallam dan juga belajar hidup dengan melihat cara hidup masyarakat yang Islami di beberapa negara. Saya pulang diawal tahun 2009 ini, sehingga segala kegiatan politik dan perjuangan Islam terutama yang berkaitan dengan pembubaran Ahmadiyah tidak lagi kami ikuti kegiatannya secara langsung, kalaupun ada itu hanyalah lebih pada keterlibatan organisasi SYARIKAT ISLAM saja tanpa keterlibatan langsung saya sebagai pimpinan organisasi.
Kedua, saya lebih memusatkan perhatian kepada dakwah langsung pada umat yang memang sangat terasa sekali membutuhkan hal itu. Ketiga, saya merasa bahwa ada juga beberapa kawan-kawan yang sudah melakukan hal itu, dan saya merasa kita hanya berbagi tugas saja.

Demikian juga pertemuan dengan Al Mukaroom Sayyid Syaikh Ustadz Abubakar Ba'asyir juga tak pernah lagi dilakukan. 
Namun ada berita yang menarik tentang Syaikh Abubakar Ba'asyir ini ketika saya dalam perjalanan keluar negeri, yaitu tentang prinsipnya mengenai hak mutlak yang melekat pada diri seorang Amir.
Hal inilah yang penting dan diperjuangkan oleh Ustadz Abubakar Ba'asyir, sehingga gesekan pendapat tak dapat dihindari lagi.
Akibatnya Terhitung sejak tanggal 13 Juli 2008, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir resmi mengundurkan diri dari Majelis Mujahidin. Hal ini seperti yang telah dia sampaikan dalam sebuah kesempatan dalam agenda rapat AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi) Majelis Mujahidin yang diadakan tanggal 13 Juli lalu di markaz pusat Majelis Mujahidin, Yogyakarta. 

Pada kesempatan itu, Ustadz Abu menyampaikan peringatan terakhirnya kepada jajaran pengurus Majelis Mujahidin yang menolak gagasannya untuk memperbaiki sistem keorganisasian MMI yang dinilainya masih tidak sesuai dengan syariat.

Abu Bakar Ba'asyir menganggap bahwa sistem organisasi yang ada di Majlis Mujahidin Indonesia ini  masih seperti organisasi jahiliyah yang menjadikan pemimpin hanya sebagai simbol yang hanya menjalankan keputusan rapat majelis tertingginya sehingga  pemimpin tidak memiliki otoritas apapun untuk mengambil keputusan jika bertolak belakang dengan hasil keputusan rapat.

"Sistem kepemimpinan seperti ini tidak ada dalam sejarah Islam. Dalam Islam, hanya mengenal sistem berorganisasi yang disebut dengan jamaah wal imamah yaitu pemimpin mempunyai otoritas penuh untuk mengambil keputusan setelah bermusyawarah dengan majelis syuro, lalu amir-lah yang mengambil keputusan akhir walaupun keputusan itu tidak populer dalam majlis syuro, dan seluruh anggota baik di majelis syuro hingga tingkat bawah harus sami'na wa atha'na siap taat melaksanakan bersama." kata Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dalam sebuah kesempatan menerangkan sistem yang benar dalam berorganisasi dalam Islam.

"Tujuan perjuangan MMI sudah benar yaitu untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia dan jalan yang dipilih untuk mencapai cita-cita itu juga sudah benar yaitu dakwah wal jihad, tetapi sistem keorganisasiannya inilah yang masih perlu diperbaiki, dan saya sebagai pemimpin merasa bertanggung jawab untuk meluruskan jika ada yang masih kurang tepat dalam organisasi yang saya pimpin, itu konsekuensi seorang pemimpin." katanya.

Walau demikian, dalam surat pengunduran resmi yang beliau kirimkan ke markaz pusat MMI dan berbagai LPW dan LPD MMI di berbagai daerah, Ba'asyir menyatakan masih siap bekerjasama dengan MMI dalam hal hal yang sesuai dengan syariat Islam.

Saya sendiri menganggap Syaikh Abubakar Ba'asyir adalah seorang yang teguh memegang prinsip ISLAM sehingga beliau rela mengundurkan diri demi prinsip tersebut. Memang begitulah Ustadz Abu, sejak saya selalu dan tidak pernah absen menghadiri sidang pengadilannya setiap hari Rabu setiap minggu di KEMAYORAN tahun 2002 saya sudah melihat sosok yang teguh dalam berISLAM. Syaikh Abubakar Ba'asyir bukan pribadi yang sembarangan, dia bukan seseorang yang gampang kompromi, nyawanya dia pertaruhkan demi ISLAM, sudahkah kita pernah membela agama ISLAM ketika dicederai?
Dalam suasana damai JIHAD diartikan sebagai dakwah, dan dikala perang maka jihad adalah angkat senjata untuk membela agama. Itulah sunnah Rasulullah s.a.w.  


ADAB – ADAB DALAM MUSYAWARAH JAMAAH TABLIGH INI KIRANYA PERLU DICAMKAN KHUSUSNYA BAGI MEREKA YANG SUDAH TAK DAPAT MEMBEDAKAN 
ANTARA MUSYAWARAH DAN DEMOKRASI
• Musyawarah dipimpin oleh seorang amir , sebaiknya amir shaf.Sebelum musyawarah, hendaknya amir mengosongkan hati dan pikirannya dari rencana yang mungkin akan diputuskan dalam musyawarah.
• Musyawarah diawali dengan Basmalah ,Hamdalah ,hendaknya masing – masing berdoa : “Allahumma alhimna mara sida umurina wa adidna min syururi anfusina wa min syayiati a maalina”. Artinya : “ Ya Allah berilah kami petunjuk ( ilham ) apa yang menjadi urusan kami dan kami berlindung dari kejahatan diri kami dan keburukan perbuatan orang lain”.
• Zihin singkat untuk membentuk pikir para musyawirin tentang arti ,maksud dan tujuan musyawarah.Timbulnya Jazbah pada setiap ahli musyawarah sehingga tidak ada yang merasa diperintah.
• Musyawirin menyampaikan Kargozari ( Laporan kegiatan program yang telah di lakukan ).
• Amir musyawarah meminta usul – usul mulai dari sebelah kanan ke sebelah kiri .Mengajukan usul yang terbaik dan setelah usul disampaikan , anggaplah usul orang lain yang terbaik.
• Apabila usul kita diterima segera beristighfar , sebab mungkin saja usul itu mendatangkan mudharat bagi orang lain, sebaliknya jika usulan kita ditolak maka ucapkan Alhamdulillah.
• Tidak memotong pembicaraan ( interupsi ), tunggulah orang lain selesai bicara dan tidak boleh menguatkan pendapat orang lain.
• Keputusan bukanlah pada suara yang terbanyak. Kebenaran hanya pada Allah dan Rasul-Nya. Hendaknya keputusan sesuai dengan laporan ( kargozari ) atau data yang ada.
• Tidak mengajukan diri sendiri dalam suatu tugas , kecuali tugas Khidmat dan Mutakallim.
• Apabila keputusan telah ditetapkan ,maka ini adalah suatu amanah dari Allah SWT dan siap melaksanakannya ( sami'na wa atha'na ). Menerima keputusan musyawarah sebagai hadiah bukan sebagai beban.
• Apabila dari hasil musyawarah terjadi hal yang tidak diinginkan maka janganlah berandai–andai. Hal ini akan menimbulkan peluang syetan untuk memecah hati kita.
• Perbedaan pendapat dalam musyawarah adalah rahmat tetapi beda pendapat di luar musyawarah adalah laknat.
Pada akhir musyawarah membaca Doa Kafaratul Majlis

Do’a Kafaratul Majlis
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنْ الْمَجْلِسِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلًا مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى فَقَالَ
كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِي الْمَجْلِسِ
Dari Abu Barzah Al Aslami ia berkata,
“Ketika akan mengakhiri majlis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan: “SUBHANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA LAA ILAAHA ILLA ANTA ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAIKA (Maha Suci Engkau Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan dan taubat kepada-Mu).”
Seorang laki-laki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau mengucapkan suatu bacaan yang tidak pernah engkau ucapkan sebelumnya!”
Beliau bersabda: “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi selama dalam majlis.”
(HR. Abu Daud no.4217, Ahmad no.18933, Ad-Darimi no.2543)
Majlis Dzikir
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ يَشْهَدَانِ بِهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَتَغَشَّتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَتَنَزَّلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id bahwa keduanya pernah menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah ada suatu kaum duduk sambil berdzikir kepada Allah, kecuali para Malaikat akan mengelilingi mereka, dan akan diselubungi rahmat, akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), dan Allah akan menyebut-nyebut orang-orang yang ada disisi-Nya.”
(HR. Ibnu Majah no.3781)
Meninggalkan Majlis tanpa menyebut nama Allah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُومُونَ مِنْ مَجْلِسٍ
لَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ فِيهِ إِلَّا قَامُوا عَنْ مِثْلِ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah suatu kaum bangkit dari tempat duduknya, dan mereka tidak menyebut nama Allah dalam majlis tersebut, melainkan mereka seperti bangun dari tempat yang semisal dengan bangkai himar, dan kelak akan menjadi penyesalan baginya (di akhirat).” (HR. Abu Daud no.4214)


Demokrasi Konsensus

Pangi Syarwi




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demokrasi konsensus adalah sebuah bentuk demokrasi langsung, yang sangat berbeda dengan demokrasi representative; para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin[1].
Berbeda dengan demokrasi yang mengandalkan aturan mayoritas, nilai-nilai yang dianut demokrasi konsensus membutuhkan keterlibatan setiap individu secara setara; apabila ada satu saja orang yang tidak setuju dengan sebuah keputusan yang diambil, maka adalah tugas semuanya untuk menemukan solusi baru yang dapat diterima oleh semua.
Demokrasi konsensus tidak menuntut agar seseorang menerima kekuatan orang lain atas hidupnya, walaupun hal ini juga bukan berarti bahwa tiap orang tidak membutuhkan orang lain; walaupun dalam soalan efisiensi, hal seperti ini amatlah lamban, tetapi dalam segi kebebasan dan itikad baik, hal tersebut akan mendapat poin yang sangat tinggi. Demokrasi konsensus tidak memaksa orang untuk mengikuti pemimpin ataupun standarisasi nilai, melainkan membiarkan orang lain untuk memiliki tujuannya dan cara pencapaiannya sendiri.
Dengan demikian kedelapan unsur Model Konsensus dalam demokrasi tersebut bertujuan untuk (a) membagi kekuasaan antara mayoritas dan minoritas, (b) memecah kekuasaan baik di antara eksekutif dan legislatif serta beberapa partai kecil, (c) pendelegasian kekuasaan terhadap kelompok teritorial dan non teritorial serta (d) pembatasan kekuasaan melalui hak veto minoritas.

Tabel 2: Komparasi Model Konsensus Dalam Demokrasi Melalui Kasus Yang Terjadi Di Belgia dan Amerika Serikat

Model Konsensus
Kasus Belgia
Kasus Amerika Serikat
pembagian kekuasaan eksekutif berupa koalisi besar
Adanya representasi kelompok bahasa Belanda dan Prancis dalam kebutuhan formal eksekutif
Kekuasaan mayoritas dengan konsentrasi kekuasaan eksekutif di tangan presiden
pemisahan kekuasaan formal dan informal
Kabinet terdiri dari koalisi nonkohesif dan bergantung kepada parlemen
Pemisahan tegas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif
bikameralisme berimbang dan representasi kelompok minoritas
Chamber of RepresentativesdanSenate mempunyai kekuasaan berimbang.
House of RepresentativesdanSenate mempunyai kekuasaan berimbang
sistem multipartai
Banyak partai dengan dua partai besar Kristen Demokrat dan Sosialis serta partai menengah Liberal
Sistem dua partai Demokrat dan Republik
sistem partai multidimensional
Pembagian berdasarkan isu agama dan  bahasa
Pembagian berdasarkan isu sosial ekonomi dan isu etnis-budaya
representasi proporsional
Pembagian kursi parlemen di antara partai atas proporsi suara yang didapat
Sistem distrik
federalisme teritorial dan non teritorial serta desentralisasi
Amandemen konstitusi 1970 menyatakan perubahan dari negara kesatuan menjadi negara komunal
Sistem federal
konstitusi tertulis dan hak veto minoritas
Konstitusi diubah dengan 2/3 suara mayoritas baik di Chamber of Representatives danSenate
Amandemen konstitusi melalui proses yang rumit
Sumber: Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm. 23-36.
Dari Tabel 2  di atas tampak terlihat jelas bahwa dalam kasus Belgia yang terlihat murni menjalankan Model Konsensus sementara Amerika Serikat menjalankan model campuran baik Model Konsensus maupun Model Westminster atau Mayoritas. Di satu sisi Belgia sendiri melakukan referendum dengan sangat jarang sementara di Amerika Serikat, khususnya California referendum sering dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan meski bersifat kontradiktif namun Amerika Serikat menjadi model campuran tipe konsensus-mayoritas dari demokrasi.
 Demokrasi konsensus, yang juga biasanya disebut demokrasi partisipatoris, yang telah lama dikenal oleh negara-negara maju sistem demokrasinya yang akrab, bahkan telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari komonitas adat di Amarika Latin sampai pada sel-sel aksi politis “postmodern group affinity” atau kelompok affinitas diberbagai negara di dunia pertama maupun pertanian organik yang dioperasikan secara kooperatif di Australia.
Demokrasi konsensus juga telah berlangsung sekian waktu dalam komonitas sedulur sikep sampai pada aksi gotong royong para petani di Kulon Progo yang menolak penambangan besi. Demokrasi konsensus secara sederhananya merupakan bentuk dari demokrasi langsung, yang sangat berbeda dengan demokrasi representatif, para partisipan selalu terlibat dalam proses pengambilan keputusan “Decision Making”, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin.
Berbeda dengan demokrasi yang mengandalkan aturan mayoritas“majority rule”, nilai-nilai yang dianut demokrasi konsensus membutuhkan keterlibatan individu secara setara (Political Equality rule). Apabila ada satu orang saja yang tidak setuju dengan sebuah keputusan yang diambil, maka tugas semuanya untuk menemukan solusi baru yang dapat diterima oleh semua.
1.2 Perumusan Masalah
Subtansi yang mendasar terkait dengan demokrasi konsensus yaitu Perbedaan kedua antara model demokrasi Westminster dan konsensus berkaitan dengan hubungan antara eksekutif dan legeslatif dalam pemerintahan. Model konsensus berkarakteristik hubungan yang lebih berimbang eksekutif-legeslatif, dimana tidak terjadi dominasi eksekutif yang lebih kuat dibandingkan dengan legislatif. Dalam kehidupan politik sebenarnya, keanekaragaman pola antar perimbangan sempurna dan ketidakseimbangan seringkali terjadi. Adapun yang menjadi pokok masalah atau pertanyaan dalam makalah ini adalah;
·            Bagaimana pelaksanaan Model demokrasi Konsensus di Indonesia dan implikasinya terhadap sistem politik Indonesia?
1.3 Kerangka Teoritis
  • Model Konsensus
Arend Lijphart membagi model demokrasi menjadi dua; Pertama, model“consensus” kebalikan “Westminster” yang meminjam unsur-unsur model consensus Lijphartdengan prinsip pembagian kekuasaan  eksekutif dengan koalisi besar, pemisahan kekuasaan baik formal maupun informal, bicameralism yang seimbang antara house representative (DPR) dengan dengan senator (DPD) punya fungsi legislatif yang seimbang, dan perwakilan minoritas system multi partai, system multi partai, system partai multidimensi perwakilan proporsional, federalism dan desentralisasi territorial dan non-teritorial, konstitusi tertulis dan veto minoritas.[2]
Sementara model Westminster, yang terdiri dari Sembilan prinsip. Kosentrasi kekuasaan berada ditangan eksekutif, fusi kekuasaaan dan dominasi kabinet, bicaralisme asimetris, system dua partai, system partai berdemensi tunggal, system pemilu yang pluralitas, pemerintah unitariat terpusat, konstitusi tidak tertulis dan kedaulatan berada pada tangan parlemen, demokrasi perwakilan seutuhnya.
Kemampuan negara diukur dari kemampuannya memaksakan aturan agar ditaati oleh penduduknya. Kemampuan negara adalah membangun negara nasional, semangat kebangsaan dengan cara kemerdekaan nasional, integrasi nasional dan “nation building”, government menjadi governance, kekuatan politik, politik mempengaruhi (political influence) dan politik manipulasi.[3]
Inggris- model Westminster, tidak pernah mengunakan referendum. Hanya pernah sekali ketika menentukan masuk kedalam masyarakat ekonomi Eropa. Sementara New Zealand (lebih murni) sering mengunakan mekanisme referendum, itu sebabnya mekanisme lijphart, tidak ada hubungan antara model majoritarian dan consensus dengan mekanisme demokrasi langsung (referendum).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Prinsip Model  Demokrasi Konsensus: Koalisi Besar
Partai-Partai yang capres dan cawapresnya yang kalah akan menjadi partai-partai oposisi, otomatis partai yang menang akan menjadi partai pendukung pemerintah, penulis melihat koalisi dalam sistem presidensial tidak ada, yang ada hanya persekongkolan politik yang terjadi.
Koalisi ini yang kemudian mendorong “check and balance” antara parlemen dan pemerintah, juga koalisi ternyata pada masa presiden SBY- Boediono, koalisi tidak memuluskan kerja pemerintah, sehingga agar pemerintah stabil lahirlah kemudian Sekgab (sekretariat gabungan) ini sama tujuannya ketika Soekarno membentuk Dewan Nasional untuk instabilitas politik yang tidak hanya sekarang saja model–model  ini terjadi.
Lalu bagaimana masa depan koalisi dalam situasi politik  seperti ini? Paling tidak hampir dapat dipastikan, ada empat hal yang telah terbukti terjadi pada babak politik sebelumnya, baik dimasa SBY-Kalla, maupun dimasa SBY-Boediono, tentu ini akan kembali lagi sampai masa periode jabatannya habis setengah tahun sisa.
Pertama, tingginya kompromi politik atau politik dagang sapi, dalam proses perombakan kabinet. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah  di DPR akan tetap tidak efektif, koalisi partai pendukung pmerintah di parlemen amat rapuh  dan mudah retak, Partai besar menurut forecasting penulis tidak akan berani SBY mengeluarkan dari koalisi, akan tetapi partai kecil yang berpeluang besar akan dikeluarkan dari koalisi. Ketiga, hak angket dan ancaman penarikan dukungan  akan selalu menjadi alat oleh partai-partai di DPR untuk melakukan lobi-lobi politik. Meskipun demikian ,perbedaan politik  antara pemerintah dan parlemen  biasanya akan berakhir dengan proses politik transaksional.
Koalisi politik, bagi saya laksana pernikahan. Landasanya adalah kesetiaan, karena itulah, berdasarkan memorandum Of Understanding (MoU) dan code of conduct, kesetiaan yang bersifat menyeluruh, tak dapat dipisah-pisah, pandangan terhadap sesuatu yang memutuskan dan menunjukkan sikapnya di khalayak ramai, maka tidak ada perbantahan yang berlaku keputusan yang berdasarkan kepada kesetiaan.
2.2  Prinsip Sistem Multi Partai
Perlunya mendorong penyederhanaan kepartaian“Parliamentary Threshold”di Republik ini. Partai-Partai yang sudah mengelompok dalam satu barisan yang diikat dalam sebuah idiologi diharapkan pada waktunya melakukan pengabungan, dalam hitungan waktu ini akan mendorong penyederhanaan partai, kita belum bisa menjelaskan berapa partai yang ideal untuk Indonesia yang luas ini, karena secara emperik kita sudah mencoba 10 Partai, 3 Partai, bahkan 40 Partai, itu tergantung  hasil electoral Threshold . Keempat,  menimalisirkan penyebab konflik, sebab tidak ada jarak antara waktu pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Kelima,  menghemat biaya pemilu.
Penyederhanaan parpol melalui Parliamentary Threshold akan membawa implikasi pada beberapa hal. Pertama, menyebabkan suara pemilih akan terbuang sia-sia. Berdasarkan data, penerapan PT 2,5 persen pada pemilu 2009 menyebabkan sekitar 18 juta suara terbuang, bila dilakukan PT 5 persen, bisa jadi sekitar 36 juta suara akan hilang pada pemilu 2014.
Kedua, PT 5 peren akan menghilangkan partai-partai kecil, penerapan PT 5 persen beberapa parpol akan berpeluang tersingkir  dari senayan pada pemilu 2014, seperti PPP, PKB, Gerindra dan Hanura, menengok pangsa pasar PPP dan PKB adalah pemilih berbasis massa Islam tradisional (NU) secara realitas PPP dan PKB berdasarkan hasil perolehan suara pemilu 2009 merosot tajam. Ketiga, PT 5 persen membuka kemungkinan terjadinya oligarki dan kartelisasi, bila semakin sedikit partai yang lolos di parlemen, bisa menyebabkan hubungan yang tidak sehat antara parlemen dengan pemerintah (check and Balance) ini juga pernah terjadi pada masa demokrasi parlementer pada massa Soekarno, terciptannya instabilitas politik.
Pemberlakuan electoral threshold (ET) 2,5% juga dimaksudkan untuk mempercepat penyederhanaan kepartaian. Kemudian dilanjutkan dengan parliamentary threshold (PT) 2,5% pada pemilu 2009. ET dan PT itu tidak dapat bekerja efektif  mengurangi jumlah partai pasca pemilu 2004 dan pemilu 2009, karena partai politik di Indonesia masih berwawasan sempit, lebih senang berebut kekuasaan politik dari pada membangun sistem yang baik.
Parliamentary Threshold, hendaknya mampu memperkuat bentuk sistem pemerintahan presidensial yang kuat. Penulis membahasakan suatu sikap arogansi kebebasan dalam politik, bila terjerembab dalam kebebasan “kebablasan” bisa membahayakan transisi demokrasi dan semakin menyuburkan pragmatisme ditubuh partai politik.
2.2 Prinsip Bicaralisme Yang Seimbang
Indonesia sistem bicameralnya tidak seimbang implikasi dari kekuatan house representative (DPR) lebih kuat dari Senator (DPD), fungsi “chec and balance”  yang tidak seimbang antara kamar satu dengan kamar kedua. kombinasi ganjil antara kewenangan terbatas dan legitimasi tinggi seperti pada DPD, tidak ditemukan di tempat lain di permukaan bumi. Setelah UUD 1945 diamandemen Indonesia mengalami perubahan yang signifikan, dari sistem unikameral (satu kamar) menjadi sistem bicameral (dua kamar). DPR bukan lagi satu-satunya lembaga legslatif. Telah muncul  kamar kedua yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan pedanan senat.
Tapi, benarkah Indonesia telah menerapkan sistem bicameral? Pertanyaan ini menguntit, hingga bertahun-tahun setelah amandemen konstitusi rampung pada tahun 2002 lalu. Sebab peran DPD dalam soal legislasi lemah belaka.
Lazimnya dalam sistem bicameral, parlemen terdiri dari majelis rendah (lower chamber) dan majelis tinggi (upper chamber).  Majelis rendah biasanya perwakilan rakyat secara nasional atau federal, sedangkan majelis tinggi merupakan perwakilan propinsi atau negara bagian. Sebuah RUU, kerap melewati kedua kamar yang berbeda basis konsistensi ini, sebelum diberlakukan, ditolak veto atau ditunda.
Karena peran DPD lemah, banyak sindiran terhadap bicameral di Indonesia, ada yang menyebut bicameral setengah hati, bicameral yang terlalu lunak (too soft bicameralsm), bicameral semu (pseudo bicameral), bicameral lemah (weak bicameralsm), dan bicameral setengah banci.
Dari segi kelembagaan ada yang menilai sistem keparlemenan cendrung soft bicameral. Sementara dari sisi fungsional tetap unikameral, karena fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Konstitusi memberikan tiga fungsi kepada DPR, fungsi DPR adalah legislasi, pengawasan dan anggaran. Sedangkan fungsi DPD adalah legislasi, pengawasan dan pertimbangan. Namun jika konstitusi memberikan tiga fungsi itu secara full kepada DPR, dan DPD hanya diberi fungsi yang terbatas.
Kenyataan lemahnya kewenangan anggota DPD ini, kian ironis yang rata-rata lebih besar dibandingkan dengan anggota DPR. Anggota DPR masih dipilih secara proporsional terbuka, sedangkan Anggota DPD telah dipilih dalam sistem distrik, medan atau daerah pertarungan DPD lebih luas, yaitu Propinsi. Sedangkan daerah pemilihan anggota DPR adalah bagian-bagian propinsi..
Banyak kritik yang disampaikan pakar dalam maupun luar negeri, terhadap bicameral ala Indonesia. Salah satunya Stephen Sherlock, peneliti dariAustralian National Universitiy, ” DPD adalah contoh yang tidak lazim dari kamar kedua, karena mempresentasikan kombinasi yang ganjil, antara kewenangan yang terbatas dengan legitimasi yang tinggi, kombinasi seperti ini tidak ditemukan ditempat lain di dunia ini. Sudah semestinya Indonesia menuju Strong bicameral yang murni, persoalannya kemudian maukah DPR berbagi kuasa dengan DPD?
2.3. Prinsip Veto Minoritas
Lebih jauh Lijphart menjelaskan, mengenai definisi demokrasi tentang pemerintahan oleh mayoritas rakyat. Argumennya adalah mayoritas harus berkuasa dan minoritas menjadi oposisi. Oleh Lijphart, pandangan seperti inilah yang kemudian ditentang oleh Model Konsensus di dalam demokrasi. Model Konsensus melihat bahwa pola pemerintah-oposisi adalah tidak demokratis karena bersifat eksklusif.[4]
Model Konsensus oleh Arthur Lewis melihat bahwa demokrasi adalah “segala yang terkena imbas keputusan harus memiliki peluang untuk berpartisipasi di dalam membuat keputusan baik secara langsung maupun melalui wakil yang terpilih’. Jika partai pemenang berhak atas segala keputusan pemerintah dan yang kalah hanya mengkritik namun tidak memerintah maka menurut Lewis kedua hal tersebut tidaklah setara.
Baginya, mengeluarkan kelompok yang kalah untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan jelas melanggar makna demokrasi. Model Konsensus dalam demokrasi kemudian dilihat dapat bekerja dalam masyarakat yang plural, di mana dibutuhkan tatanan demokrasi yang menekankan konsensus dibandingkan oposisi.
2.2 Implikasi Teori
Dalam konteks sistem parlementer dan presidensial, Lijphart menyatakan bahwa perbedaan-perbedaannya harus dipertegas sehingga bisa ditarik garis diantara keduanya. Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemegang tunggal kekuasaan eksekutif sementara dalam sistem parlementer, posisi perdana menteri nyaris sama dengan menteri-menteri lain diukur dari tingkat kebersamaan dalam pengambilan keputusan.[5]
Hal ini berbeda dengan anggota kabinet presidensial yang lebih merupakan penasihat atau bawahan presiden. Atas dasar itulah Lijphart menyimpulkan bahwa sistem presidensial bersifat inferior dibandingkan sistem parlementer, terlepas apakah presiden kuat atau lemah. Sistem presidensial juga cenderung terlalu mengikuti model mayoritas sementara model mayoritas sendiri tidak bisa diganti oleh konsensus tetapi oleh konflik, frustrasi dan jalan buntu.
Perbedaan terpenting antara model demokrasi Westminster (mayoritas) dan model demokrasi konsensus mengenai luas partisipasi pemerintah, khususnya pihak eksekutif, dengan representatif rakyat. Model demokrasi Westminster terkonsentrasi pada kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan didukung relatif kecil mayoritas parlemen, dimana model konsensus mendukung koalisi besar dimana semua partai politik yg signifikan dan perwakilan kelompok utama dalam komunitas berbagi kekuasan eksekutif. Pemerintahan mayoritas nyata dan koalisi agung adalah tipe ideal tetapi dalam prakteknya berbagai bentuk lanjutan dapat ditemukan, seperti sebesar tetapi tidak koalisi agung (grand coalition) dan kabinet minoritas.
Subtansi yang mendasar terkait dengan demokrasi konsensus yaitu Perbedaan kedua antara model demokrasi Westminster dan konsensus berkaitan dengan hubungan antara eksekutif dan legeslatif dalam pemerintahan. Model konsensus berkarakteristik hubungan yang lebih berimbang eksekutif-legeslatif, dimana tidak terjadi dominasi eksekutif yang lebih kuat dibandingkan dengan legislatif. Dalam kehidupan politik sebenarnya, keanekaragaman pola antar perimbangan sempurna dan ketidakseimbangan seringkali terjadi.
Suatu yang masuk akal mengenai argumen bahwa demokrasi dan majority rule tidak berkonflik karena kehadiran kondisi kedua: fakta bahwa Inggris dan New Zealand relatif masyarakat homongen dan partai utama mereka selalu tidak jauh terpisah dalam pandangan kebijakan mereka karena mereka cenderung tetap dekat dengan pusat politik. Satu partai terpisah dari kekuasaan yang mungkin tidak demokrasi bagian dari kriteria ”pemerintahan oleh rakyat”, tetapi jika kepentingan pemilih dan pilihan mempunyai alasan baik melayani kebijakan partai lain dalam pemerintahan, kurang lebih sistem ”pemerintahan untuk rakyat” mendefinisikan demokrasi.
Dalam masyarakat plural, walaupun, majority rule berarti kedidaktoran mayoritas dan perselisihan sipil dari pada demokrasi. Apa masyarakat ini membutuhkan rejim demokrasi menekankan konsensus daripada oposisi, termasuk daripada meniadakan konsensus dan mencoba memaksimalkan ukuran aturan mayoritas daripada memuaskan dengan mayoritas nyata demokrasi konsensus.[6]
1.4 Manakah yang Terbaik di Indonesia?
Dari pandangan mayoritas definisi dasar demokrasi berarti “pemerintahan oleh mayoritas orang ( the majority of the people). Mempunyai argumen bahwa mayoritas seharusnya memerintah dan minoritas seharusnya menjadi oposisi. Pandangan ini ditentang oleh model demokrasi konsensus. Menurut Robert Dahl mengatakan majority rule dan pemerintahan melawan pola pemerintahan oposisi mengakibatkan pandangan tidak demokrasi karena adanya prinsip menghilangkan (principles of exclusion).
Dahl, mengatakan bahwa arti utama demokrasi adalah bahwa “semua yang mempengaruhi sebuah keputusan seharusnya diberikan kesempatan partisipasi dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung atau melalui representatif yang terpilih. Maksud kedua kehendak mayoritas dapat berlaku. Jika dalam maksud ini partai pemenang boleh membuat semua keputusan pemerintahan dan pihak yang kalah mengkritisi tetapi tidak memerintah, Lewis berargumen dua arti tidak cocok : “meniadakan kelompok yang kalah dari partisipasi pembuatan keputusan jelas-jelas melanggar arti pentingya demokrasi.[7]
Secara gamblang Lijphart mengatakan bahwa demokrasi Model Westminsteratau mayoritas  Consensus adalah lebih baik dalam memerintah, sementara Model Konsensus adalah lebih baik dalam mewakili, khususnya mewakili kelompok dan kepentingan minoritas secara insklusif. Model Konsensus merupakan model yang lebih baik dalam demokrasi karena kualitas yang dimilikinya dimana ada upaya terhadap negara kesejahteraan, perhatian terhadap lingkungan, lebih sedikit orang yang dipenjara dan dihukum mati. Model konsensus dalam negara berkembang menurut Lijphart juga lebih bijak dalam perspektif bantuan ekonomi.
Jika kita merujuk apa yang diungkapkan oleh Lijphart tentunya ada keberatan-keberatan tersendiri mengingat pertama, apa yang dipotret Lijphart melalui penelitiannya menunjukkan bahwa selain setiap model memiliki deviasi tersendiri. Dari setiap deviasi yang terjadi, negara-negara yang ada juga memperlihatkan karakteristik masing-masing berdasarkan perjalanan sejarah, kondisi sosial ekonomi dan situasi politik yang berlangsung. Demikian halnya dengan Indonesia, tidak mudah dikatakan bahwa apa yang ideal menurut Lijphart akan cocok pula untuk Indonesia.[8]
Keberatan kedua adalah, dalam kasus Indonesia justru sistem parlementarian dengan banyak partai menimbulkan masalah dibandingkan apa yang dibayangkan oleh hasil penelitian Lijphart bahwa sistem parlementarian lebih baik daripada sistem presidensial. Hal ini menegaskan kembali bahwa  kondisi dan situasi obyektif sebuah negara tidak dapat digeneralisasi oleh kategori yang dilakukan dalam sebuah penelitian yang cenderung bersifat komparatif. Sistem presidensial  dalam model konsensus mungkin bisa jadi adalah kombinasi yang terbaik berupa kekuasaan dalam satu tangan namun sekaligus juga merupakan representasi dari kehendak rakyat.
Keberatan ketiga adalah, mungkin tawaran Lijphart hendaknya berhenti pada pernyataan bahwa model Westminster adalah baik untuk memerintah dan model konsensus adalah tepat untuk mewakili, tanpa harus menarik kesimpulan lebih jauh dan bersifat derivatif terhadap negara-negara yang menjadi subyek penelitiannya. Hal ini menjadi sebuah pembatasan yang perlu karena kembali lagi bahwa tidak ada negara yang dapat dinyatakan secara komparatif berbanding bahkan menjadi bentuk ideal dari sebuah model demokrasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perbedaan terpenting antara model demokrasi Westminster (mayoritas) dan model demokrasi konsensus mengenai luas partisipasi pemerintah, khususnya pihak eksekutif, dengan representatif rakyat. Model demokrasi konsensus terkonsentrasi pada kekuasaan legislatif dalam pemerintahan didukung  lebih besar mayoritas parlemen, dimana model konsensus mendukung koalisi besar dimana semua partai politik yg signifikan dan perwakilan kelompok utama dalam komunitas berbagi kekuasan eksekutif.  Koalisi di Indonesia apakah sekarang koalisi besar atau hanya persengkongkolan dalam koalisi, ketika  partai mendukung, maka berapa kursi untuk menteri di kabinet, sebab dalam sistem presidential relatif tidak mengenal koalisi.
Subtansi yang mendasar terkait dengan demokrasi konsensus yaitu Perbedaan kedua antara model demokrasi Westminster dan konsensus berkaitan dengan hubungan antara eksekutif dan legeslatif dalam pemerintahan. Model konsensus berkarakteristik hubungan yang lebih berimbang eksekutif-legeslatif, dimana tidak terjadi dominasi eksekutif yang lebih kuat dibandingkan dengan legislatif.
demokrasi Model Westminster atau mayoritas  Consensus adalah lebih baik dalam memerintah, sementara Model Konsensus adalah lebih baik dalam mewakili, khususnya mewakili kelompok dan kepentingan minoritas secara insklusif. Model Konsensus merupakan model yang lebih baik dalam demokrasi karena kualitas yang dimilikinya dimana ada upaya terhadap negara kesejahteraan, perhatian terhadap lingkungan, lebih sedikit orang yang dipenjara dan dihukum mati. Model konsensus dalam negara berkembang menurut Lijphart juga lebih bijak dalam perspektif bantuan ekonomi.
Demikian halnya dengan Indonesia, tidak mudah dikatakan bahwa apa yang ideal menurut Lijphart akan cocok pula untuk Indonesia. Sistem bicameral,  sistem kepartaian “multi party” kita yang belum jelas, dan sistem apa yang cocok untuk republik ini, karena kita masih dalam proses mencari-cari untuk sistem yang ideal.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm. 9-20.
Lijphart, Arend,1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government In    Twenty-One Contries (New Haven Conn., Yale university Press)
Lijphart, Arend, 1995, Electoral System, In Seymour Martin Lipset, Encyclopedia Democracy (Washington D.C., Congressional Quarterly).
Huntington, Samuel P., Political Order In Changing Societies (Yale University Press, 1968)
John Locke dalam The Second Treatise Goverment
Satya Arinanto, Beberapa pengikut paham bahwa hukum adalah kekuasaan (menurut catatan Van Apeldron) dalam Politik Hukum: Kumpulan Materi Transparansi. Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasca Sarjana
Arend Lijphart, Democracies: Pattern of Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One Centuries, New Haven and London: Yale University Press, 1984, hal. 2.
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992,
Lipson, The Democratic Civilization, New York: Feiffer and Simons, 1964, hal. 240.




[1] Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm. 23-36.
[2]Lijphart, Arend,1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One Contries (New Haven Conn., Yale university Press)
[3]Huntington, Samuel P., Political Order In Changing Societies (Yale University Press, 1968)
[4] Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm. 23-36
[5]Lijphart, Arend, 1995, Electoral System, In Seymour Martin Lipset, Encyclopedia Democracy (Washington D.C., Congressional Quarterly).
[6] Sumber: Arend Lijphart, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm. 9-20.

[7]Dahl, Robert A., 1989, Democracy and Its Critics ( New Haven, Connecticut, Yale University Press).
[8] Lijphart, Arend,1984. Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government In Twenty-One Contries (New Haven Conn., Yale university Press)
Referendum ialah: 
penyerahan suatu masalah kpd orang banyak supaya mereka yg menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dng pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat): akan diadakan -- di daerah jajahan itu bulan Maret yg akan datang; -- fakultatif tidak wajib meminta pendapat rakyat secara langsung (bergantung pd keputusan penguasa), msl dl penetapan undang-undang; -- obligator kewajiban meminta pendapat rakyat secara langsung dl mengubah sesuatu, msl thd perubahan konstitusi.
Plebisit ialah: pemungutan suara umum di suatu daerah untuk menentukan status daerah itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar