Selasa, 06 Mei 2014

Aqidah: Hati-hati Bilang “Seandainya” dan Hati-hati, Banyak Setan dalam Diskusi Kita

Aqidah: Hati-hati Bilang “Seandainya”
Iman terhadap takdir atau ketetapan Allah Ta’ala adalah pokok Aqidah ahlus sunah wal jamaah. Apa yang menimpa seorang manusia berupa kebaikan dan keburukan, dan apa-apa yang terjadi di muka bumi telah dicatat Allah Ta’ala di Lauhil Mahfudz. Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lohmahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al Hadid 22)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengomentari ayat di atas seraya berkata: “Itu semua –penulisan takdir- telah selesai sebelum diciptakan nafsi –manusia-(Tafsir At Thobary 13/265)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abdillah bin Amr bahwa ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menulis takdir seluruh alam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi.” (Sahih Muslim Lisyarkh An Nawawi 16/166, Kitab Qadar, Bab Hujaj Adam Wa Musa, hadits 2653)
Maka, ketika manusia mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, ridho dan menerima akan ketentuan Allah Ta’ala adalah sebuah keharusan baginya.
Kita diperintahkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Tatkala kita diberi cobaan oleh Allah Ta’ala berupa musibah atau yang semisalnya, dengan inilah mungkin Allah Ta’ala ingin mengangkat derajat kita disisi-Nya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan, dan bahwasanya Allah Ta’ala ketika mencintai sebuah kaum, maka mereka akan diberi cobaan. Barang siapa yang ridha terhadapnya baginya adalah keridhaan Allah Ta’ala. Dan barang siapa yang menolak, maka baginya kemurkaan-Nya (HR At Tirmidzi)
Sifat Orang Munafiq
Salah satu sifat seorang munafiq adalah menolak takdir Allah Ta’ala dengan menggunakan perkataan-perkataan mereka. Sebagaimana yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron:
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا
“Mereka –orang-orang munafik- berkata:”Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”(QS. Ali Imron: 154)
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair bahwa ayahnya berkata, “dan telah diperlihatkan kepadaku, tatkala rasa takut yang sangat menyelinap pada diri kami, Allah Ta’ala menurunkan rasa kantuk, dan tidak ada seorang diantara kami kecuali dagunya menempel di dada. Demi Allah, sesungguhnya saya mendengar perkataan Mu’tab bin Qusyair, dan tidaklah aku mendengarnya kecuali bagaikan mimpi. Ia mengatakan, ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini. Maka saya hafal perkataannya. Ketika itu turunlah surat Ali Imron 154.” (Fathul Majid 2/766)
Beginilah perkataan orang munafiq, mereka sering mengucapkan kata(اللو)  “andaikata” sebagai ungkapan untuk menolak takdir. Kemudian Allah membantah perkataan mereka dengan firman-Nya:
قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ
Katakanlah, sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu.” (QS. Ali Imran: 154)
Hukum Mengatakan (اللو) “Seandainya” dan Sejenisnya
Sering kita mendegar ucapan “seandainya begini tentu aku akan begini” atau perkataan-perkataan sejenisnya. Bahkan ungkapan itu keluar dari lisan kita secara sadar maupun tidak. Orang munafiq sering mengucapkannya sebagai ungkapan untuk menolak ketentuan Allah Ta’ala. Lantas, apakah hal itu menunjukkan larangan secara mutlaq?
Abdurrahman As Sa’di dalam bukunya “Qaulu Syadid fi Syarh Kitab at Tauhid” menerangkan bahwa kata (اللو)  “seandainya” mempunyai dua keadaan. Pertama, tercela seperti orang mengalami sesuatu yang tidak disukai kemudian berkata, “Seandainya saya tidak melakukannya tentu saya tidak akan terkena musibah ini” atau perkataan semisalnya. Kedua, boleh bahkan merupakan hal yang terpuji. Seperti orang yang berangan-angan dalam hal kebaikan atau hanya sebagai berita.
Sedangkan Syaikh Utsaimin lebih rinci dalam menjelaskannya. Beliau mengelompokkan penggunaan kata(اللو)  “seandainya” menjadi enam kelompok. (Qoulu Al Mufid 2/361-362) yaitu:
1. Kata itu digunakan sebagai ungkapan untuk menolak sebuah syariat Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafiq, terkhusus Abdullah bin Ubay. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا
Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”.(QS. Ali Imron: 168)
Imam At Thabari meriwayatkan dari Ibnu Ishaq ketika ia menafsirkan ayat ” لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا ” yaitu, kematian adalah sebuah keniscayaan. Jikalau – orang munafik – sanggup menolak mati pada dirinya, maka lakukanlah. Mereka mengatakan hal itu hanya untuk menyembunyikan kemunafikan dan ingin meninggalkan Jihad Fi Sabilillah. Mereka menginginkan tinggal di dunia dan lari dari kematian. (Tafsir Ath Thabari 3/206). Maka hal ini diharamkan Allah Ta’ala.
2. Digunakan sebagai ungkapan untuk menolak takdir dari Allah Ta’ala.
Hal ini sebagaimana yang telah kami terangkan di atas. Yaitu tentang salah satu sifat orang munafik. Maka, ini juga dilarang Allah Ta’ala.
3. Sebagai ungkapan penyesalan.
Seperti perkataan siswa yang tidak naik kelas “Seandainya tahun ini saya belajar rajin, saya akan naik kelas”. Ia mengucapkannya bukan untuk menolak takdir, akan tetapi hanya sebatas penyesalan. Maka, hal ini juga dilarang oleh Islam. Karena penyesalan akan menimbulkan kesedihan dan kefuturan, yang mana itu semua adalah pintu-pintu masuknya setan untuk menggoda manusia.
4. Berhujah dengan takdir dalam hal kemaksiatan kepada Allah.
Seringkali ketika kita menasehati orang yang berbuat maksiat, mereka mengatakan “Ini adalah takdir Allah Ta’ala. Seandainya Allah Ta’ala tidak menakdirkannya, saya tidak akan melakukannya.” Allah Ta’ala menolak hujjah orang-orang yang  menyekutukan-Nya, dan tetap memasukkan mereka dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلا تَخْرُصُونَ
“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun”. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. “(QS. Al An’am: 148)
5. Digunakan  sebagai angan-agan atau cita-cita.
Dalam masalah ini, hukumnya tergantung kepada objek atau apa yang menjadi angan-anganaya. Jika digunakan utuk angan-angan yang baik, maka hukumnya juga baik. Sebaliknya jika ia mengangan-angan hal yang buruk, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana hadits panjang tentang 4 golongan. Salah satu dari mereka berangan-angan “seandainya saya mempunyai harta, sungguh saya akan beramal sebagaimana sifulan beramal” yaitu dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan yang lain juga mengatakan sebagaimana yang pertama, akan tetapi ia berangan-angan dalam kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallambersabda untuk yang pertama
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
 “Dan ia hanya meniatkan, maka pahala keduanya sama”
Kemudian beliau bersabda bagi golangan kedua:
فَهُوَ فِيْ نِيَتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dan ia hanya meniatkan, maka dosa  keduanya sama”
6. Digunakan untuk sebatas berita.
Seperti perkataan “seandainya pak guru masuk, saya akan selalu memperhatikannya dan mengambil faedah yang banyak dari beliau.” Hal ini diperbolehkan oleh Islam. Sebab RasulullahShallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الهَدْيِ وَلَأَحَلَلْتُ مَعَكُمْ
“Seandainya aku menemui urusanku (haji) saya tidak akan berpaling, saya tidak akan membawa hewan qurban dan pasti akan bertahalul bersama kalian” (HR. Bukhari)
Ikhwan sekalian… Takdir adalah rahasia Allah Ta’ala dan tidak perlu untuk dicari. Kita hanya diperintahkan untuk bersemangat dalam beramal. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah Ta’ala dari pada mukmin yang lemah dan semuanya mempunyai kebaikan. Bersegeralah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala -dalam segala urusan-, dan janganlah bersikap lemah. Dan apabila kalian mendapatkan musibah jangan katakan “seandainya saya berbuat begitu, saya  akan begini atau begitu” akan tetapi telah ditetapkan Allah Ta’ala dan apa bila Dia berkehendak maka akan terlaksana, karena sesungguhnya (اللو) “seandainya” membuka amalan syaithon” (HR muslim)
Dari hadits ini Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam memberikan anjuran kepada kita untuk selalu bersemangat beramal dalam dua keadaan. Keadaan yang sesuai dengan cita-cita, dan keadaan yang tidak menyenangkan.
Penulis: Mukhlis



Hati-hati, Banyak Setan dalam Diskusi Kita



KIBLAT.NET – Hari ini, sebagian besar waktu kita mungkin terkuras untuk berdiskusi di media sosial atau grup-grup tertentu, di dunia maya maupun di handphone. Banyak sekali sarananya; Whatsapp, BBM, Line, Facebook, Twitter dan masih banyak lagi.
Agar diskusi atau buah dari tarian jari-jari kita lebih bermanfaat, ada satu hadis yang patut diingat-ingat ketika berdiskusi. Banyak orang mungkin sudah tahu dan hafal hadis ini. Tetapi tidaklah aib bila kita ulang di sini:
Abu Hurairah berkata, “Seseorang telah mencela Abu Bakar. Abu Bakar pun diam, sedangkan Nabi SAW ketika itu bersama mereka dalam posisi duduk. Nabi merasa kagum, lalu tersenyum. Ketika orang itu memperbanyak cercaannya, Abu Bakar menimpali sebagian yang diucapkannya. Nabi pun marah dan beranjak pergi.

Abu Bakar kemudian menyusul beliau dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, orang itu telah mencerca diriku, dan engkau tetap duduk. Namun, saat aku menimpali sebagian yang diucapkannya, mengapa engkau marah dan berdiri?’

Rasulullah pun menjawab, ‘Tadi ada malaikat bersamamu dan menimpali orang tersebut, sementara engkau diam. Akan tetapi, ketika engkau menimpali sebagian yang diucapkannya, setan pun datang dan aku pun tidak mau duduk dengan setan.’
Kemudian beliau SAW bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, ada tiga perkara yang semuanya benar:
  1. Tidaklah seseorang yang dizalimi dengan suatu kezaliman, kemudian ia memaafkannya karena Allah, melainkan Allah akan memuliakannya karena perbuatannya itu dan akan menolongnya.
  2. Tiada seseorang yang membuka pintu pemberian dengan niat bersilaturahim, melainkan Allah akan memperbanyak hartanya. T
  3. Tiada seseorang yang membuka pintu untuk meminta-minta dengan niat meperbanyak hartanya, melainkan Allah akan menyedikitkan hartanya.”(Al-Haitsami mengatakan, “Para perawinya shahih.” Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya baik.”).
Kita adakalanya membicarakan suatu tema, misalnya tentang krisis umat Islam, perselisihan di antara mujahidin, atau kelompok-kelompok dan manhaj mereka. Atau tema sosial lainnya. Di dunia maya yang serba terbuka, sangat besar kemungkinan ada orang yang berkomentar tidak baik. Bahkan mungkin mencela dan melecehkan buah pikiran Anda. Bukan sebatas itu, orang yang tidak Anda kenal mungkin akan mengatakan niat Anda tidak ikhlas dan tuduhan lainnya. Nah, dalam hal ini ada dua hal yang sejatinya adalah ujian bagi kita:
  1. Bila hinaan tidak dibalas dengan hinaan, mudah-mudahan malaikat bersama Anda dan membalas ungkapan penghina itu agar berbalik kepadanya. Doa malaikat tentu lebih dekat untuk dikabulkan. Selain itu, Rasulullah telah memberikan jaminan bahwa bila kita memaafkan celaan itu, Allah akan menolong dan mengangkat derajat.
  2. Bila celaan itu kita balas, kedudukan pertama tadi pun lenyap. Malaikat pergi, dan setanlah yang bermain. Setan datang untuk membisikkan kata-kata rayuan kepada masing-masing pihak. Perdebatan pun akhirnya kering dari kemungkinan berkah. Banyak kata-kata sia-sia, pamer, fitnah, dan kesombongan. Meskipun salah satu pihak berada dalam kebenaran, sedangkan pihak lain tidak benar, diskusi itu menjadi tidak bermanfaat.
Manakah di antara dua itu yang banyak dilakukan oleh orang pada zaman sekarang? Hanya orang-orang yang dipilih oleh Allah yang bisa menahan diri dan melakukan yang pertama. Apalagi di akhir zaman ini, Rasulullah menyebutkan bahwa banyak orang akan membanggakan buah pikirnya sendiri.
Agar kita menjadi orang-orang pilihan Allah, kata-kata yang melecehkan tidak harus dibalas dengan pelecehan. Balaslah dengan kata-kata yang baik dan ilmiah. Jika yang kita sampaikan adalah suatu kebenaran, ia tidak akan tertutupi oleh buruknya cara orang membantah pendapat kita. Maka Allah pun berfirman, “Kebaikan itu tidak akan pernah sama dengan keburukan. Balaslah (keburukan itu) dengan yang lebih baik.” Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Ibnu Yaman. Terinspirasi oleh tulisan Dr Iyad Qunaibi, semoga Allah memberikan pahala jariah  kepada beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar