Cobalah kita perhatikan sejenak pada sekeliling kita, terutama lingkungan tempat kita tinggal. Lihat dan perhatikan gerak-gerik, tingkah laku dari anak-anak di sekeliling kita. Baik itu anak kita sendiri atau anak-anak tetangga, bahkan setiap anak-anak yang kita jumpai di manapun adanya.
Apa yang kita dapati pada gerak-gerik dan tingkah laku mereka? Bila kita benar-benar menyayangi mereka, tentu khawatir akan prilaku anak-anak itu. Karena, ada gejala tidak baik yang menjadi prilaku calon-calon pengganti kita. Sedangkan mereka sebagian besar adalah anak-anak muslim, berarti mereka anak-anak saudara kita, karena sesama muslim itu bersaudara. Atau tanpa kita sadari bisa juga anak kita sendiri yang punya prilaku yang patut kita khawatirkan itu.
Andai kita masih punya “hati nurani” yang berfungsi dengan baik, pasti kita akan temukan pada diri anak-anak yang sedang dalam perkembangan itu suatu gejala yang membuat hati kita miris melihatnya. Tetapi itu apabila kita masih punya “hati nurani” yang hidup dan ghirah Islamiyah yang berfungsi.
Kenapa dikatakan masih punya “hati nurani” yang hidup? Karena sesungguhnya pada diri kita, khususnya masyarakat perkotaan, kemungkinan yang memiliki “hati nurani” sudah langka. Yang ada kebanyakan hatinya telah menjadi keras, dan hati yang keras tak akan bisa melihat situasi yang berubah menjadi jelek atau tak akan mengerti jika ada kerusakan, baik pada dirinya maupun sekelilingnya.
Apalagi bila ghirah Islamiyahnya sudah pudar, tak akan pernah mau tahu dan tak akan pernah mengerti bahwa telah terjadi sesuatu pada diri atau pada orang lain, walaupun itu kerusakan yang menyangkut saudaranya dan berhubungan dengan agamanya.
Sepertinya, kebanyakan dari kita sudah terlalu penuh dengan kesibukan berlomba mencari dunia, sudah terlalu sibuk untuk sekadar memenuhi hasrat kebutuhan untuk diri sendiri. Baik itu berupa harta, kedudukan (pangkat), dan hasrat untuk bisa dihormati orang. Sehingga tak ada ruang lagi dalam hati kita untuk sekadar peduli melihat situasi, memperhatikan perubahan. Baik itu yang ada di dekat kita (anak-anak kita) atau apalagi perubahan di sekeliling kita. Dan itu lama kelamaan akan terbentuklah pribadi yang tak lagi mempunyai “hati nurani”.
Ada Apa dengan Anak-Anak?
Ada perubahan besar pada gerak-gerik dan tingkah laku anak-anak yang menurut kewajaran, belum masanya untuk berubah. Bayangkan, anak yang masih “bau kencur” alias masih terlalu kecil sudah berubah tingkah lakunya seperti anak yang sudah aqil baligh, atau tingkah lakunya dan gerak geriknya seperti anak yang telah masanya puber.
Perhatikan dengan saksama. Anak-anak yang seharusnya masih terlalu polos dalam ucapan atau bertingkah laku, karena masih usia kanak-kanak (setelah balita), sekarang ini mereka telah berubah, baik itu ucapannya atau tingkah lakunya.
Kita akan dibuat kaget (andai kita masih punya hati nurani), anak-anak sekecil itu sudah bisa dengan lancar main kata-kataan (bertengkar) dengan sesama temannya. Saling tuduh bahwa si teman yang satu ini adalah pacarnya si Fulan, lalu temannya yang dituduh ini balik menuduh bahwa temannya itu pacarnya si Fulanah.
Mereka selalu main kata-kataan bahwa mereka punya pasangan (pacar) satu sama lain. Dan yang lebih miris lagi, anak-anak yang boleh dibilang masih kanak-kanak ini, mereka bertingkah laku begitu itu setiap saat (kapan saja) apabila mereka bertemu satu sama lain. Bahkan kadang bukan hanya saling kata-kataan, namun sampai mereka membuat coretan, entah di tembok pagar atau lainnya, dalam arti telah menjadi fenomena sehari-hari mereka. Dan bukan itu saja. Bahkan jika mereka kumpul atau saling bertemu, jika tidak saling kata-kataan (pertengkaran kecil) maka mereka saling mengakui si A pasangan si B, si Fulan pasangan si Fulanah dan seterusnya. Laa haula wala quwwata illa billah.
Inilah musibah yang melanda di kalangan anak-anak kita!!! Dan itu adalah perubahan besar.
Kenapa dikatakan perubahan besar? Tentu saja. Karena ini tak pernah diduga oleh para orang tua. Biasanya, alamiyahnya, bahwa anak-anak yang masih usia kanak-kanak begitu, masih sangat polos, tak mengerti apa-apa kecuali dunianya yang sebegitu bersih dan suci. Jangankan mereka bisa mengerti apa itu kata “pacar”, kadang mereka belum bisa paham siapa itu laki-laki dan siapa itu perempuan. Tetapi sekarang telah terjadi perubahan besar, anak-anak kita yang katanya masih “bau kencur” sudah bisa tahu apa itu pacar dan apa itu pacaran. Bahkan saling kata-kataan sesama teman bahwa temannya itu pacarnya si anu dan sebaliknya. Dan itu mereka lakukan hampir setiap kesempatan.
Fenomena apa gerangan yang telah terjadi pada anak-anak yang masih ”bau kencur” di sekitar kita, kalau yang begini ini bukan gejala kehancuran akhlaq (tingkah laku)? Sedang mereka itu adalah anak-anak muslim, anak-anak kita, anak-anak saudara kita.
Andai kita masih punya hati nurani, betapa pilu kita menyaksikan fenomena yang begini dahsyat, yang menyangkut anak-anak kita yang seharusnya mereka itu masih polos, putih bersih ibarat kain yang belum ternoda apa-apa. Tetapi kenyataannya kain putih itu sengaja telah ternoda dengan aneka warna akibat keteledoran, dan kebodohan kita!!!.
Coba kita tengok ke masa lalu, sebelum lingkungan pergaulan ini begitu bebas dengan perubahan yang dahsyat ini. Kita masih ingat masa kanak-kanak yang polos dan lugu. Anak kecil di masa lalu, lebih-lebih anak perempuan, jangankan untuk mengerti urusan orang dewasa, untuk ditanya siapa namanya saja malunya bukan main untuk menjawab.
Namun secara berangsur-angsur hingga di zaman kini, tidak hanya perubahan tingkah laku yang terjadi pada mereka. Akan tetapi ucapan-ucapan sehari-hari mereka sudah mengarah kepada ucapan-ucapan kasar. Dan itu terdengar sehari-harinya. Bahkan bukan ucapan kasar saja tetapi berupa caci maki dan mengumpat satu sama lain. Dan itu menjadi konsumsi anak-anak kita, anak-anak saudara kita, anak-anak tetangga kita, lingkungan kita. Bahkan terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua kata-kata dan sikap kasar yang tak patut sering mereka lakukan dan dalam bersikap sering sangat kurang beradab. Demikian pula dengan kebiasaan dan selera mereka sangat jauh dari nilai-nilai Islam.
Caci maki itu mereka ucapkan dengan entengnya bila satu sama lain yang bukan teman dekatnya atau yang bukan gengnya bertemu. Kata “Batu!” kerap terlontar dari mulut-mulut anak-anak itu untuk mengumpat teman yang lain gengnya atau saingannya. Dan caci maki sesama teman meluncur dengan nerocos dari mulut-mulut mereka tanpa merasa ada beban apa-apa. Na’uzubillah min zaalik!. Kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Karena sebenarnya, berkata kasar dan mengumpat itu sendiri bukan akhlaq seorang mu’min.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيْسَ بِاللَّعَّانِ وَلاَ الطَّعَّانِ وَلاَ الْفَاحِشِ وَلاَ الْبَذِىءِ ».
Dari Abdullah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya orang mukmin itu bukan pelaknat, bukan pencela, bukan penjorok (sering berkata porno) dan bukan bermulut (yang bicaranya) kotor. (HR Ahmad, kata Syu’aib Al-Arna’uth: sanadnya shahih, rijlanya tsiqot (terpercaya) rijal shahih, dan riwayat At-Tirmidzi, ia berkata ini hadits hasan gharib).
Peringatan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setegas itu. Berarti orang mu’min wajib menjauhi akhlaq buruk yang berisi dosa itu. Namun kenyataannya, anak-anak kecil di zaman sekarang justru telah tumbuh subur dalam praktek akhlaq buruk yang membahayakan iman gara-gara mulut mereka yang tidak dijaga.
Ini kenyataan yang menyakitkan. Tapi yang tak kalah memprihatinkan, terkadang orang tua tak sadar atau sudah sama-sama “Batunya” , sehingga si anak didiamkan saja dan dianggap: “namanya juga anak-anak…”. Sungguh ironis.
Ada fenomena lain yang melengkapi betapa anak-anak kita sudah sedemikian memprihatinkan tingkah lakunya, gerak gerik dan ucapan-ucapannya. Mereka suka mengumpat orang tua temannya. Yang lebih sering melakukan hal ini adalah anak laki-laki. Adapun anak perempuan agak jarang. Tak didapat ucapan yang baik kala sesama teman bertemu, apa lagi ucapan salam. Yang ada saling caci, mengejek satu sama lain dan di sela-sela saling ejek itu karena seringnya berucap kata “Batu!” untuk memaki temannya, sadar atau bahkan malah sengaja, si anak memaki orang tua temannya apabila ia kesal. Padahal mencaci orang tua temannya itu berarti mencaci orang tuanya sendiri.
Hal itu dosa besar yang telah diperingatkan keras oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits ditegaskan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di antara dosa besar adalah seorang laki-laki mencela kedua orang tuanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, ‘Apakah (mungkin) seorang laki-laki mencela orang tuanya? ‘ Beliau menjawab: “Ya. Dia mencela bapak seseorang lalu orang tersebut (membalas) mencela bapaknya, lalu dia mencela ibunya, lalu orang tersebut (membalas) mencela ibunya.” (Hadits muttafaq ‘alaih, disepakati shahihnya oleh Al-Bukhari dan Muslim).
Belum lagi perihal otak mereka yang telah dijejali pengaruh iklan-iklan dan sinetron-sinetron setiap harinya, sehingga yang mereka ucapkan jingle-jingle iklan dan dialog-dialog sinetron. Tak ada terdengar ucapan yang bermanfaat, apalagi terucap zikir-zikir, tak pernah terdengar.
Mungkin sebagian dari kita justru menilai, tulisan ini berlebihan atau bahasa gaulnya lebay. Bahkan mungkin pula dianggap mengada-ada.
Ya, okey. Sementara anggap saja tulisan ini lebay. Seandainya ini merupakan kekhawatiran berlebihan pun, kalau itu kemudian dilaksanakan pencegahan, dengan mengawasi dan mendidik anak-anak agar menjadi benar, maka insya Allah jadi baik. Sebaliknya, kalau gejala negative dan tidak baik di kalangan anak-anak itu dianggap wajar belaka, tidak ada masalah, lalu tidak diadakan antisipasi apa-apa, maka secara perhitungan akal dapat dipastikan, mereka tidak akan berbalik menjadi baik, justru kemungkinan besar akan tumbuh lebih buruk lagi.
Lebih dari itu, kebiasaan buruk dari anak-anak itu bukan keburukan yang biasa-biasa saja, namun punya daya rusak yang sangat dahsyat, kenapa?
Karena:
1. Orientasi anak-anak itu sudah pada lingkaran syahwat, disalurkan dengan kata-kataan berkaitan dengan pacaran, pasang-pasangan.
2. Perkataan yang anak-anak lontarkan itu cerminan perangai kasar dan sangar. Hingga caci maki dan kata-kata kasar lah yang anak-anak lontarkan sesamanya.
3. Tidak peduli pada norma-norma ataupun nilai-nilai yang mesti dihargai, hingga orang tua pun diumpat tanpa merasa bersalah.
Ketiga faktor itu merupakan hal-hal yang sangat berbahaya. Bila anak-anak itu tetap dibiarkan berkembang dalam prilaku buruk itu, maka bahaya besar telah menghadang mereka ketika mereka tumbuh jadi dewasa dan menjadi masyarakat. Kemungkinan sekali akan menjadi kumpulan orang-orang jahat yang telah dikecam dalam agama.
1. Ketika masih kanak-kanak, orientasi mereka sudah pada lingkaran syahwat, maka dikhawatirkan akan menjadi masyarakat buruk yang meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat.
Masalah itu telah dikisahkan dalam Al-Qur’an:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا [مريم/59]
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, (QS Maryam/ 19: 59).
Imam Ibnul Jauzi dalam tafsirnya Zadul Masir menjelaskan, أَضَاعُوا الصَّلَاةَ menyia-nyiakan shalat, adalah meninggalkannya, itu dikatakan oleh Al-Quradhi, dan makna itu dipilih oleh Az-Zajaj. Sedang firman-Nya { وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ } kata Abu Sulaiman Al-Dimasyqi: memperturutkan hawa nafsunya, hal itu misalnya mendengarkan nyanyian, minum khamr (minuman keras), zina, main-main –al-lahwu—dan semacamnya yang menghalangi dari menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah ‘Azza wa Jalla. (Ibnul Jauzi, Zadul Masir dalam menafsiri QS 19: 59).
2. Ketika kanak-kanak sudah bermulut kotor, berkata-kata kasar, maka dikhawatirkan kelak akan tumbuh jadi masyarakat yang sangar lagi kasar serta bermulut jorok. Sedangkan orang yang seperti itu perangainya, tidak lain adalah calon-calon penghuni neraka.
رَوَى التِّرْمِذِيُّ عَنْ أَبِي هريرةَ قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم : ” الْحَيَاءُ مِنَ الإيمَانُ فِي الجَنَّةِ ، والبَذَاءُ مِنَ الجَفَاءِ؛ والجَفَاءُ فِي النَّارِ ” قال أبو عيسى : هذا حديث حسن صحيح؛
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malu itu sebagian dari iman (dan iman itu) di dalam surga. Sedang mulut kotor (suka bicara kotor) itu rermasuk perangai kasar (sangar), dan perangai kasar (sangar) itu dalam neraka.” (HR At-Tirmidzi / Abu ‘Isa berkata: ini hadits hasan shahih).
3. Apabila ketika kanak-kanak tidak peduli pada norma-norma ataupun nilai-nilai yang mesti dihargai, maka dikhawatirkan sekali akan tumbuh menjadi menusia-manusia yang mujahirin (terang-terangan) dalam berbuat dosa, yang hal itu mengakibatkan hilangnya ampunan Allah Ta’ala.
عَن عَن سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
Hadits dari Salim bin Abdullah, ia berkata, aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua ummatku akan diampuni dosanya (mu’afan), kecuali yang terang-terangan berbuat dosa (Al Mujahirin). Dan termasuk dari mujaharah (terang-terangan) yaitu seorang berbuat di waktu malam suatu perbuatan (dosa) kemudian pagi-pagi (diceritakan pada lain orang), padahal semalam itu Allah telah menutupinya, lalu dia berkata wahai Fulan, aku telah berbuat tadi malam begini dan begini, sedangkan ia bermalam dalam keadaan Tuhannya menutupi (aib)nya, dan tetapi pagi-pagi ia membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tiga tingkah itu (meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat, bermulut kotor dan berperangai sangar/ kasar, dan terang-terangan dalam berbuat dosa;) semuanya merupakan puncak-puncak keburukan yang ancamannya neraka ataupun hilangnya ampunan dari Allah Ta’ala. Betapa mengerikannya bila yang tumbuh itu adalah generasi yang gaya hidupnya seburuk itu.
Dari analisis ini, jika kita orang tua masih punya “hati nurani” dan punya sedikit perasaan serta ghirah Islam yang baik, pasti pilu melihat kenyataan ini. Padahal mereka (anak-anak) adalah calon generasi pengganti kita, pewaris keturunan kita, calon pemimpin. Lalu apa jadinya mereka kelak saat mereka menjadi orang tua, saat mereka menjadi pemimpin, walau hanya pemimpin rumah tangganya, bila kecilnya saja telah begitu jelek tingkah laku dan ucapannya? Sungguh memilukan bukan??? (madrasahibu.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar