Selasa, 15 Agustus 2017

e-KTP, Borok Baru Negeri Ini dan Kematian Johannes Marliem yang Menambah Daftar Kematian Saksi e-KTP

Kematian Johannes Marliem, salah satu saksi perkara korupsi e-KTP, menambah daftar saksi dalam kasus itu yang meninggal. Penyedia produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1, yang digunakan dalam proyek e-KTP itu disebut-sebut sebagai saksi kunci dalam kasus tersebut.

Marliem dikabarkan meninggal di Amerika Serikat. Komisi Pemberantasan Korupsi menerima kabar Marliem meninggal pada Jumat, 11 Agustus 2017. "Benar, yang bersangkutan, Johannes Marliem, meninggal dunia, tapi kami belum dapat informasi yang lebih rinci, karena terjadinya di Amerika," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, pada Jumat, 11 Agustus.

Marliem sempat mengungkapkan kekecewaannya pada pimpinan KPK dan sebuah media massa lantaran pemberitaan yang membuat nyawanya terancam.

Kematian Johannes Marliem, saksi kunci kasus korupsi e-KTP (KTP elektronik) menyisakan banyak misteri. Pria yang dikabarkan bunuh diri ditemukan dengan beberapa luka di tubuhnya, hal yang kurang lazim dalam peristiwa bunuh diri.

Beberapa waktu lalu, KONTAN sempat saling bertukar pesan dengan Marliem. Ketika itu ia sempat mengungkapkan kekecewaannya pada pimpinan KPK dan sebuah media massa lantaran pemberitaan yang membuat nyawanya terancam.

" Saya tidak mau dipublikasi begini sebagai saksi. Malah sekarang bisa-bisa nyawa saya terancam," ujarnya.

" Seharusnya penyidikan saya itu rahasia. Masa saksi dibuka-buka begitu di media. Apa saya enggak jadi bual-bualan pihak yang merasa dirugikan? Makanya saya itu kecewa betul," imbuh Marliem mengomentari bocornya kepemilikan rekaman pembicaraan terkait pembahasan proyek e-KTP.

Berita yang Marliem maksud ialah soal terbongkarnya bukti berupa rekaman pembicaraan. Padahal, rekaman tersebut sebenarnya tak ingin ia beberkan.

" Saya kira sama saja hukum di AS juga begitu. Kita selalu menjunjung tinggi privacy rights, harus memberitahu dan consent bila melakukan perekaman," tuturnya.

Bantah Isi Surat Dakwaan

Itu sebabnya, ia sempat mengungkapkan harapannya agar (jurnalis) KONTAN tidak memelintir pemberitaan soal rekaman yang ia anggap sebagai catatan tersebut. Pasalnya, dalam pemberitaan di media sebelumnya, seolah-olah dijelaskan bahwa ketua DPR RI Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka gara-gara rekaman yang ia miliki.

" Jadi tolong jangan diplintir lagi. Saya tidak ada kepentingan soal rekaman. Dan ada rekaman SN (Setya Novanto) atau tidak, saya juga tidak tahu. Namanya juga catatan saya," ucap Marliem.

Marliem juga sempat membantah soal isi surat dakwaan yang menyebut ia sempat memberikan duit US$ 200.000 kepada Sugiharto, mantan pejabat Kemendagri yang sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Sebagai buktinya, ia memberikan potongan rekaman pembicaraannya dengan Sugiharto. Dalam pembicaraan itu, Marliem hanya ingin memberikan teknologi yang terbaik serta bekerja demi kesuksesan program e-KTP. Harga yang ia berikan kepada konsorsium pun merupakan harga wajar dan tidak digelembungkan seenaknya.

Tak Bisa Main Suap-menyuap

Meskipun perusahaannya berbasis di Amerika Serikat, Marliem menggaransi data kependudukan tidak akan bocor. Pasalnya server dan storage system berada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.

Lantaran perusahaannya berasal dari negeri Paman Sam itu pula yang menjadi alasan dia tidak bisa main suap-menyuap. " Saya sudah pahit-pahit ngomong di depan, bahwa kami ini perusahaan Amerika. Tidak bisa cawe-cawe. Kami tidak bisa mengeluarkan uang dari perusahaan untuk kepentingan tidak jelas," tuturnya.

Pasalnya, jika melanggar, perusahaanya akan dijerat dengan FCPA (Foreign Corrup Practice Act) dan harus membayar denda besar jika terbukti menyuap. Penerapan aturan ini serupa dengan pidana korporasi yang mulai digunakan KPK akhir-akhir ini.

Dalam kesempatan itu, Marliem juga sempat berkomentar soal kartu-kartu yang dikeluarkan pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, BPJS dan sebaginya. Baginya, kartu tersebut hanya pemborosan anggaran karena hanya plastik yang berisi tulisan. Sementara, e-KTP berisi data biometrik yang sangat valid. Dengan e-KTP, pemerintah bisa memastikan jumlah anggota keluarga, berapa anak yang harus disubsidi.

" KTP-el saat ini sudah siap, mau dijadikan e-Toll bisa, jadi e-money juga bisa. Tapi, karena di sektor-sektor itu sudah dikuasai mafia jadi pemerintah tidak berani ambil keputusan politis," katanya.

Baca: Johannes Marliem, Pemilik 500 GB Rekaman Korupsi E-KTP Meninggal

Sebelum Marliem, ada dua saksi dari kalangan anggota Dewan meninggal. Mereka adalah politikus Partai Demokrat, Mayor Jenderal TNI (Purn) Ignatius Mulyono, dan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Mustokoweni.

Ignatius meninggal di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, pada Selasa, 1 Desember 2015. Mantan anggota Komisi III itu meninggal karena penyakit jantung. Sedangkan Mustokoweni meninggal pada Jumat, 18 Juni 2010, di Rumah Sakit Elizabeth, Semarang, Jawa Tengah.

Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, baik Ignatius maupun Mustokoweni diduga menerima aliran dana korupsi e-KTP. Ignatius disebut menerima US$ 258 ribu, sedangkan Mustokoweni disebut menerima US$ 408 ribu.

Johannes Marliem disebut sebagai saksi kunci kasus megakorupsi e-KTP karena ia mengantongi bukti pembicaraan para perancang proyek e-KTP selama empat tahun. Ia meyakini rekaman pembicaraan itu dapat menjadi bukti untuk menelisik korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut.

Read more at https://nasional.tempo.co/read/news/2017/08/12/063899336/kematian-johannes-marliem-menambah-daftar-saksi-e-ktp-meninggal#Ty5764Oc11k7T4MU.99

Johannes Marliem merekam seluruh pembicaraan dengan orang-orang yang terlibat proyek e-KTP. Sejak awal pembahasan megaproyek itu, ia telah merencanakan untuk merekam. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Marliem disebut sebagai penyedia produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 untuk proyek kartu tanda penduduk elektronik.

“Tujuannya cuma satu: keeping everybody in honest,” kata Johannes Marliem, saat diwawancara Tempo, pertengahan Juli 2017 melalui aplikasi video call FaceTime, posisinya  saat itu di Amerika Serikat. Proyek itu kemudian menjadi kasus korupsi e-KTP dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Tak main-main, Marliem secara gamblang menyebutkan ia memiliki bukti-bukti keterkaitan orang dengan kasus korupsi e-KTP itu.  “Hitung saja. Empat tahun dikali berapa pertemuan. Ada puluhan jam rekaman sekitar 500 GB,” kata dia. Johannes Marliem bahkan menantang, “ Mau jerat siapa lagi? Saya punya,” ujarnya.

Read more at https://nasional.tempo.co/read/news/2017/08/11/063899198/Johannes-Marliem-Pemilik-500-GB-Rekaman-Korupsi-E-KTP-Meninggal#1IU6rlUxcyyvXV2q.99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar