Meikarta, rencana apa yang disembunyikan dari proyek kota besar ini? Itulah pertanyaan hari-hari ini yang menyelinap dalam kesadaran publik. Betapa tidak, tadinya dikira hanya pengembangan biasa dari Cikarang, tapi kemudian menjelma menjadi Meikarta.
Sebelum ramai isu “Kota Demi Cina” yang merupakan plesetan dari Meikarta di Bekasi, sudah muncul berita setahun sebelumnya bahwa Lippo Group lewat anak usahanya PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) menandatangani kerja sama dengan dua Investor Tiongkok, Shenzhen Yantian Port Group Co., Ltd dan Country Garden Holdings Co. Ltd. Ketiga perusahaan ini nantinya akan bersama-sama mendesain dan mengembangkan Kawasan Industri Indonesia Shenzhen Baru di kawasan Lippo Cikarang.
Saat itu belum muncul Meikarta ke telinga publik, baru nama Shenzen Baru. Padahal Shenzen Baru itu ya…Meikarta yang sekarang ini.
Pejabat Lippo menyatakan waktu itu, “Dari 3 ribu ha, ada sisa 20 persen. Maka akan dikembangkan di situ. Ketiganya pun akan kembangkan proyek di Orange County yang luasnya sekitar 322 ha,” papar Stanley.
Setahun setelah pernyataan itu, saat Meikarta sudah dipublikasikan, Direktur Lippo Group Danang Kemayan Jati menegaskan bahwa proyek-proyek Lippo yang telah diluncurkan sebelum Meikarta masih tetap berjalan. Termasuk Orange County, kawasan terintegrasi seluas 322 hektar di Cikarang senilai Rp250 triliun mencakup hunian vertikal dan CBD yang disiapkan akan menjadi bagian dari Meikarta nantinya.
Jadi jelas bukan, bahwa Meikarta hanya judul yang berganti. Proyeknya tetap sama dengan apa yang ditandatangani Lippo dengan dua perusahaan RRC tersebut.
Pertanyaannya sekarang, proyek apa sebetulnya Meikarta ini? Mengapa namanya Meikarta? Apakah ini artinya Kota Mei yang mengingatkan bulan Mei, bulan sakral bagi komunis atau semacam istilah mandarin yang dikombinasikan dengan kata karta, yaitu bahasa lokal lama di Indonesia?
Namun seperti yang ditulis oleh Tirto, “Meikarta” ialah sebuah nama baru yang disematkan oleh CEO Lippo Group, James Riady, untuk megaproyek Kota Baru di Cikarang Bekasi dengan total luas 2.200 hektar, dengan estimasi investasi tak tanggung-tanggung hingga Rp278 triliun.
Pengusaha properti pemilik MSH Group yaitu mantan Menteri Perindustrian, MS Hidayat berujar, “bisnis properti adalah bisnis yang menjual prospek.” Prospek yang sedang dijual itu kini ada di Meikarta yang dikemas dengan nama “Kota Baru” oleh Lippo dengan embel-embel “Shenzhen-nya Indonesia”.
Karena Meikarta adalah menjual prospek, bisa jadi ketika citra kota milik China melekat pada Meikarta, maka di tengah isu kolonialisme China makin sensitif, kota yang kontroversial ini bisa-bisa kehilangan prospeknya.
Seperti yang disebutkan Stanley, adapun inti kerja sama antara perusahaan China dengan Lippo tersebut, memiliki tujuan dari rencana Tiongkok yang ingin memajukan jalur maritim, one belt one road. Dengan rintisan itu, akan membuka kerja sama antara perusahaan Tiongkok dan mitra lokal dalam negeri untuk memajukan industri lokal melalui transfer pengetahuan di antara keduanya.
Perhatikan, one belt one road, itu adalah grand design kebijakan RRC dengan apa yang disebut Jalur Sutera Baru yang bertujuan mengintegrasikan negara-negara di jalur tersebut ke dalam cakupan ekonomi China.
Apakah Indonesia akan untung, tersedot atau malah buntung dengan bersedia terintegrasi ke dalam hisapan ekonomi RRC, hanya anak negeri yang berhak menjawabnya sekarang. (des)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar