illustrasi Bastille Day |
NEW YORK - Pada 25 April 1792, narapidana Prancis bernama Nicolas-Jaques Pelletier menjadi orang pertama yang dieksekusi dengan pisau guillotine. Pisau itupun menjadi terkenal karena efisiensinya dalam mencabut nyawa seorang terdakwa.
Pada awal pecahnya Revolusi Prancis (1789), Dr. Joseph-ignace Guillotine muncul di depan Majelis Nasional Prancis untuk membahas masalah yang berkaitan dengan eksekusi mati. Beberapa akademisi berpendapat, seorang kriminal di Prancis tidak pantas menjalani eksekusi dengan cara yang berliku-liku seperti digantung dan dibakar.
Guillotine memberikan saran untuk menerapkan hukuman mati yang lebih manusiawi dan dapat diberlakukan kepada seluruh terdakwa. Tepat pada 1791, Majelis Nasional Prancis menjadikan hukum pancung sebagai satu-satunya hukuman mati di Negeri Mode itu. Namun salah seorang pengeksekusi Charles-Henri Sanson menilai, ada masalah yang muncul lewat praktik pemancungan.
Sanson mengingatkan Majelis Nasional bahwa eksekusi dengan pedang tentunya harus dilakukan seorang algojo yang handal. Terkadang, pedang tumpul masih sering ditemukan dalam praktik eksekusi itu.
Guillotine kembali muncul dengan ide barunya mengenai eksekusi mati. Pria itu menyarankan praktik eksekusi dilakukan dengan menggunakan "mesin pemenggal kepala" yang dapat bergerak cepat dalam menebas kepala sang terdakwa. Demikian dilansir dari History.com, Kamis (2/5/2013).
"Mekanisme ini bak kilat, kepala akan segera lepas dari badan, darah akan menyembur, dan terdakwa tewas seketika," ujar Guillotine pada rekan-rekannya.
Mesin pemenggal kepala itupun sukses diuji coba. Mesin yang akhirnya diberi nama guillotine itu benar-benar bisa membunuh seorang terdakwa tanpa rasa sakit yang berkepanjangan. Pisau itu jelas lebih efektif digunakan ketimbang pedang. (AUL)
Pada awal pecahnya Revolusi Prancis (1789), Dr. Joseph-ignace Guillotine muncul di depan Majelis Nasional Prancis untuk membahas masalah yang berkaitan dengan eksekusi mati. Beberapa akademisi berpendapat, seorang kriminal di Prancis tidak pantas menjalani eksekusi dengan cara yang berliku-liku seperti digantung dan dibakar.
Guillotine memberikan saran untuk menerapkan hukuman mati yang lebih manusiawi dan dapat diberlakukan kepada seluruh terdakwa. Tepat pada 1791, Majelis Nasional Prancis menjadikan hukum pancung sebagai satu-satunya hukuman mati di Negeri Mode itu. Namun salah seorang pengeksekusi Charles-Henri Sanson menilai, ada masalah yang muncul lewat praktik pemancungan.
Sanson mengingatkan Majelis Nasional bahwa eksekusi dengan pedang tentunya harus dilakukan seorang algojo yang handal. Terkadang, pedang tumpul masih sering ditemukan dalam praktik eksekusi itu.
Guillotine kembali muncul dengan ide barunya mengenai eksekusi mati. Pria itu menyarankan praktik eksekusi dilakukan dengan menggunakan "mesin pemenggal kepala" yang dapat bergerak cepat dalam menebas kepala sang terdakwa. Demikian dilansir dari History.com, Kamis (2/5/2013).
"Mekanisme ini bak kilat, kepala akan segera lepas dari badan, darah akan menyembur, dan terdakwa tewas seketika," ujar Guillotine pada rekan-rekannya.
Mesin pemenggal kepala itupun sukses diuji coba. Mesin yang akhirnya diberi nama guillotine itu benar-benar bisa membunuh seorang terdakwa tanpa rasa sakit yang berkepanjangan. Pisau itu jelas lebih efektif digunakan ketimbang pedang. (AUL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar