Jumat, 03 Mei 2013

ZAKAT PROFESI MENURUT FATWA ULAMA KONTEMPORER


Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. al-Baqarah[2]: 267).
Arti ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita nafkahkan (keluarkan zakatnya). Harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam pandangan Islam adalah amanah Allah SWT. Di sinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Di dalam khazanah hukum Islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbagi dua. Yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ‘ulama ( ijma’) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf).  Yang pertama adalah barang-barang yang dijelaskan secara eksplisit di dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan ( rikaz). Barang-barang itu sudah dijelaskan secara rinci, baik mengenai kadar nishab-nya maupun kadar zakatnya.   Sedangkan yang kedua adalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam teks, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usaha baru yang menjanjikan[2]. Bagian yang kedua ini adalah merupakan wilayah ijtihad, sehingga wajar jika terjadi perbedaan di antara ‘ulama. Untuk bagian yang kedua ini pada umumnya ‘ulama mengambil dalil keumuman petunjuk Surat al-Baqarah (2): 267 sebagaimana disebutkan diatas. Makalah ini akan mencermati bentuk yang kedua, yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh ‘ulama mengenai kewajiban zakatnya, khususnya zakat profesi.
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat mempunyai kedudukan yang sangat agung. Di samping sebagai bentuk ibadah kepada Allah, zakat merupakan sarana pemerataan ekonomi umat Islam, pengikat kasih sayang antara orang kaya dan fakir miskin, dan juga membantu terciptanya kemaslahatan umat Islam. Hal ini tercermin dalam aturan – aturan zakat dan pengalokasiannya. Sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk mengetahui dan memahami permasalahan zakat. Sebab, masih ada sebagian umat Islam yang kurang memahami tentang hukum zakat dan permasalahan yang terkait dengannya. Hal ini tentu akan berpengaruh dalam praktek dan pelaksanaannya. Potensi zakat di Indonesia, berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center)  mengatakan potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007. Potensi ini meningkat 4,64 triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006).
Sementara itu, untuk menumbuhkan dan menggalakkan kesadaran zakat di Indonesia, telah banyak terbit Peraturan Daerah (PERDA) Zakat di beberapa daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Tentunya hal ini adalah salah satu  upaya mengoptimalkan pemungutan serta pendayagunaan zakat. Keberadaan Undang-undang No. 38 Thn 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 32 Thn 2004 tentang Otonomi daerah cukup menyulutkan kehadiran PERDA ini di beberapa daerah. Menurut Institut Manajemen zakat (IMZ)  sedikitnya ada 24 daerah yang telah memiliki PERDA Zakat[3].  Kita bisa menyebut contoh , seperti di Lombok Timur, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, Tangerang, dan Cilegon. Hal ini merupakan keberhasilan yang  harus diapresiasi mengingat kesadaran berzakat di Indonesia masih sangat rendah.

  1. Pengertian  Zakat  Profesi
Zakat profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta)[4]. Zakat profesi didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.[5]
Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak. Kalau persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanaan zakat yang berjalan di masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadilan antara petani yang memiliki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para profesional misalnya dokter, akuntan, konsultan,  notaris, dan insinyur yang hanya dalam waktu relatif pendek memiliki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan ketrampilan seperti konsultan, insinyur, notaris dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi juga bisa bervariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau  hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor dan royalti pengarang.
C.       Pendapat ’Ulama tentang  Zakat Profesi
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama madzhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapainishab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti  Yusuf Al Qaradhawi dan Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib pada saat memperolehnya, meskipun belum mencapai satu tahun[6]. Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, Tabiin  Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama fiqh lainnya[7]. Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5%, berdasarkan keumuman nas yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu haul atau  ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun. [8] Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan petani yang wajib mengeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitungan haul.  Menurut al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%.  Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud).[9]
D.      Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor  (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini.
Dalam buku Fiqh Zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan,  dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:
1. Pengeluaran bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nishab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.
Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan ‘Auza’i, beliau menjelaskan: “Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya” (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30). Dan juga menqiyaskan dengan  beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan rikaz.
2. Dipotong oprasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nishab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta  rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-
Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho’ dan lain-lain. Dari zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10%  dan melalui irigasi 5%.
3. Pengeluaran neto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nishab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “…. dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…”.[10]
Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq.[11] Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.
  1. E.     Pendapat Lembaga ‘Ulama Indonesia tentang Zakat Profesi
Di Indonesia, ada beberapa lembaga keulamaan yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk mengeluarkan fatwa tentang persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam, diantaranya yang pernah mengemuka adalah tentang zakat profesi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa No.3 Tahun 2003, menegaskan bahwa semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Dalam fatwa ini yang dimaksud   dengan “penghasilan” adalah  adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Adapun dasar hukum yang dijadikan alasan menetapkan hukum tersebut adalah:

Hai orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu … (QS. al-Baqarah[2]: 267).
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka… (QS. al-Taubah [9]:103).
Hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
Diriwayatkan secara marfu’ hadits ibn Umar, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada harta sampai berputar satu tahun.”
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: ‘Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya’. (HR. Muslim). Imam Nawawi berkata: “Hadis ini adalah dalil bahwa harta qinayah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat.

Dari Hakim bin Hizam r.a., dari Nabi Saw beliau bersabda: “Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barangsiapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barangsiapa berusaha mecukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan (HR. Bukhari).


Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Sedekah hanyalah dikeluarkan dari kelebihan/ kebutuhan.Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu”(HR. Ahmad).
Sedangkan Dewan Syariah PKS dengan dalil dan argumen  sebagaimana disebutkan di dalam Fatwa Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera Nomor 03/F/K/DS-PKS/1427 sebagai berikut :
  1. Perintah untuk mengeluarkan infaq dari kasab yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia sebagaimana  Allah berfirman  QS. Al Baqarah : 267:
2.    Peringatan Allah terhadap orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah. Allah berfirman : “…dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah : 34).
3. Hadits tentang orang yang wajib dipungut zakatnya: “Rasulullah saw bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman : Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jika kamu datang kepada mereka, maka ajaklah  mereka untuk mengucapkan syahadatain. Jika mereka taat kepadamu, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menuruti perintahmu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan ke atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka. Jika mereka menuruti perintahmu, maka hati-hatilah kamu dari harta mereka yang berharga, dan hindarkanlah doa dari orang yang terdzalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah”. (HR Bukhari)
3.     Prinsip keadilan dalam Islam. Sungguh dirasakan tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam bila petani dan pedagang kecil yang penghasilannya kecil diwajibkan membayar zakat, sementara seorang eksekutif, konsultan, dan profesional lain yang gajinya dapat mencapai puluhan juta tidak diwajibkan membayar zakat.

Berdasarkan dalil-dalil diatas disimpulkan bahwa :
1.  zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan  keumuman ayat 267 surat al Baqarah.
2.  zakat profesi memiliki kemiripan dengan zakat pertanian dari aspek waktu penerimaan gaji dan dengan naqdain (emas dan perak) dari aspek harta yang diterima.
3.  Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq yaitu setara dengan 652, 8 kg beras atau senilai Rp 3.265.000 (dengan standar harga beras Rp.5000/kg).
4. Nishab naqdain adalah 20 dinar setara dengan 85 gr atau senilai Rp 17.000.000 (dengan standar harga emas Rp 200.000/gr)
5.  Untuk menentukan  nishab dan miqdar zakat profesi ditetapkan berdasarkan qiyas. f. terdapat pilihan qiyas di antara 3 (tiga) jenis qiyas, yaitu: qiyas íllah, qiyas dilalah dan qiyas syabah.
6.  Qiyas íllah tidak dapat diterapkan karena íllah zakat  profesi tidak dinyatakan dengan nash.
7. Memilih qiyas dilalah relatif lebih mudah dipahami dibanding dengan qiyas syabah tetapi qiyas syabah pun diakui sebagai rujukan dalam istinbath di kalangan ulama ada yang menggunakan qiyas sabah..
Menurut Majelis Tarjih  Muhammadiyah zakat profesi adalah wajib. Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman ayat 267 surat al-Baqarah. Dalam surat al-Baqarah ayat 267 di atas merupakan bentuk kata perintah ( amr), sehingga kata tersebut berfaedah wajib. Selanjutnya mengandung hukum kully yang mencakup semua hasil usaha manusia termasuk profesi di dalamnya. Sedangkan menurut Dewan Hisbah Persis hukum zakat profesi adalah tidak wajib dan hanya memutuskan bahwa harta yang tidak terkena kewajiban zakat termasuk hasil profesi,  dikenai kewajiban  infaq yang besarannya tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut. Pimpinan jam’iyyah bisa menetapkan besarnya infaq.
Semoga dengan zakat, harta menjadi bersih, berkemabang, berkah, bermanfaat dan meneyelamatkan pemiliknya dari siksa Allah SWT. Amiin ya mujibas sa`ilin.




[1] Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag adalah dosen Fakultas Syariah UIN Maliki, saat ini dipercaya menjadi dekan.
[2] Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.
[4] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi,Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17.
[5] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95.
[6] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865,
[7]  Wahbah az-Zuhaili,  Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866.
[8] Ibid.
[9] Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866.

[10]  Yusuf Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486, Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, 104
[11] Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.



Ketika Zakat Di Tuduh Bagian Dari Teroris Apa Kata Dunia ?
Pengamat Intelijen DR.Wawan Hari Purwanto baru-baru ini melempar wacana ke publik bahwa dana zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) yang terkumpul dari umat Islam di Indonesia perlu diteliti ”untuk memutus pendanaan teroris”, . Namun, ia lupa bahwa banyak kalangan curiga, operasi terorisme di Indonesia lebih bernuansa rekayasa atas tekanan Amerika dan sekutunya untuk merusak citra Islam. .
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), KH Didin Hafidudin, menilai sinyalemen pengamat intelijen Dr Wawan Hari Purwanto tentang ”perlunya meneliti aliran dana zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) di Indonesia untuk memutus pendanaan teroris”, sebagai fitnah. Itu bisa merupakan kampanye hitam (black campaign) terhadap ajaran sosial dan pemberdayaan ekonomi umat Islam.
”Itu sebuah fitnah murahan. Kami jadi curiga, ada apa ini? Jangan-jangan pernyataan itu dia lontarkan dengan maksud yang tidak baik,” cetus Kiai Didin, kepada Republika, Rabu (9/7). Protes senada disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin.
”Program zakat bisa terganggu. Dari sudut muzakki (pemberi zakat), boleh jadi akan terpengaruh sehingga enggan mengeluarkan zakat. Dia harus mengklarifikasi, apalagi pernyataannya tanpa disertai bukti,” tutur Din. Menurut Din, wacana seperti itu akan bersifat tendensius dan menimbulkan persepsi negatif. ”Itu tidak bisa disebut sebagai wacana, tapi fitnah. Saya berkeyakinan, tidak ada dana zakat yang disalahgunakan peruntukkannya, apalagi untuk tujuan yang tidak baik,” tegas Din.
Pendayagunaan atau penyaluran zakat, lanjut Din, sangat jelas diatur Alquran, yakni kepada delapan ashnaf (kelompok). ”Tidak ada di situ untuk aksi terorisme,” tukasnya. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, mengungkapkan, di dunia internasional yang tidak suka pada kebenaran ajaran Islam pun sering muncul tudingan seperti yang dilakukan Wawan. ”Mungkin ada benang merahnya ke arah sana,” ujarnya. Atau, kata Tifatul, Wawan tidak mengerti sama sekali dengan pengelolaan ZIS. Pengelolaan dana umat ini memiliki standar yang sama di seluruh dunia Islam.
”Ketentuan penerima zakat ini sudah jelas aturannya. Hanya delapan ashnaf yang diperbolehkan mendapatkannya. Zakat hanya menangani kaum dhuafa atau orang-orang lemah seperti ibnu sabil, fuqoro, dan masakih,” papar Tifatul.
Wacana kontra produktif
Sebelumnya, Wawan kepada Republika berdalih, pemerintah Arab Saudi juga menerapkan pengawasan terhadap penggunaan ZIS. ”(Pengawasan) Di sana pun menimbulkan reaksi dan protes. Jadi, wajar juga kalau pernyataan saya mengundang protes. Saya siap menjelaskan kepada MUI,” tegasnya.
Wawan mengemukakan, ditemukannya bom berdaya ledak lebih dahsyat dari Bom Bali di Palembang, Sumatra Selatan, baru-baru ini, menunjukkan bahwa dana yang digunakan juga lebih besar. Namun, ia lupa bahwa banyak kalangan curiga, operasi terorisme di Indonesia lebih bernuansa rekayasa atas tekanan Amerika dan sekutunya untuk merusak citra Islam. Tapi, Wawan malah menyarankan pula agar permintaan ZIS yang dilakukan secara berkeliling dari rumah ke rumah diawasi. Sebab, dengan cara itu tak ada pengawasan penggunaannya untuk apa.
Kiai Didin, kembali menilai lontaran gagasan Wawan tetap tendensius. Ia meminta umat Islam tak terpancing apalagi sampai menghentikan memberikan ZIS pada saluran yang benar. Pernyatan Wawan–yang juga mendapat reaksi keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah dan Pusat–juga dianggap Kiai Didin tidak memahami tata kelola ZIS Indonesia. Baznas sendiri mengelolanya secara transparan dan profesional.
”Sesuai Sunah Rasulullah SAW, menyalurkan ZIS itu melalui badan amil zakat (BAZ) atau lembaga amil zakat (LAZ). Setiap tahun bahkan setiap tiga bulan, kami juga diaudit oleh akuntan publik independen,” ungkap Kiai Didin. Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor itu juga menjelaskan, selain mengacu pada syariat Islam, penyaluran dana ZIS berdasarkan Undang-undang No 38/1999. Garis besarnya, zakat ditujukan untuk membantu fakir miskin, kesehatan, dan pendidikan mereka.
”Menggalakkan zakat adalah membantu pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. Daripada menuduh tanpa bukti, saya mengajak saudara Wawan untuk mempelajari ajaran ZIS,” kata Kiai Didin. Ia menambahkan, kebiasaan menuduh tanpa bukti atau sekadar wacana padahal masalahnya sangat penting berkaitan dengan kebutuhan masyarakat banyak, adalah perbuatan kontra produktif. ”BAZ dan LAZ berkhidmat untuk kepentingan masyarakat dan bangsa, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu,” tandasnya. hri/djo/dam
( )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar